Jakarta terasa luas dan asing, sementara ingatanku sesekali pulang ke Pandeglang, ke meja makan keluarga yang kini jauh


Oleh : M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan- Tinggal di Tangerang- Indonesia

Kartu Mahasiswa UI

Aku datang ke Jakarta pada tahun 1979 dari Pandeglang, kota kecil di ujung barat Pulau Jawa. Pagi Rawamangun terasa teduh, tetapi hatiku tidak sepenuhnya tenang. Di balik semangat sebagai mahasiswa baru, dulu namanya Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FISUI), dan sekarang berganti nama menjadi FISIP-UI terselip rasa rindu pada rumah—pada jalan-jalan kecil, suara azan magrib, dan wajah-wajah akrab yang kutinggalkan demi sebuah cita-cita.

Gedung-gedung kampus tampak sederhana namun berwibawa. Mahasiswa berlalu-lalang dengan langkah mantap, berbincang tentang buku dan keadaan negeri. Aku berdiri di antara mereka sebagai anak daerah yang masih membawa bau kampung.

Jakarta terasa luas dan asing, sementara ingatanku sesekali pulang ke Pandeglang, ke meja makan keluarga yang kini jauh.

Di ruang kuliah Pengantar Ilmu Politik, bangku kayu dan papan tulis menyimpan jejak waktu. Kehadiran Prof. Meriam Budiarjo membuat ruangan hening. Suaranya tenang, pikirannya jernih. Ia berbicara tentang negara, warga, dan tanggung jawab moral. Di tengah penjelasannya, aku merasa jarak antara Rawamangun dan Pandeglang memendek—ilmu seakan menjadi jembatan antara kampung halaman dan dunia yang sedang kupelajari.

Menjelang sore, aku melangkah meninggalkan kampus. Matahari condong ke barat, mengingatkanku pada senja di Pandeglang. Rindu itu belum hilang, tetapi kini ditemani keyakinan. Hari pertamaku di FISUI mengajarkanku bahwa pergi jauh bukan untuk melupakan asal-usul, melainkan untuk suatu hari kembali dengan pemahaman yang lebih utuh.(*)

Leave a comment