Penghormatan untuk Mentorku

Oleh: Yanto Soegiarto

MERDEKA! Catatan ini saya tulis untuk mengenang para penda-

hulu, Burhanuddin Muhammad Diah, yang kerap kita singkat

dengan BM Diah, Slamet Bratanata, Soepeno Sumardjo, Gani Harsono dan Ibu Diati Ganis Harsono, Virga Belan, Haris Sitompoel, Kosasih Kamil, H Ahmad Adirsyah, Malik Hasbullah, Gurbakhs Singh, Noel Oellah, Roeslan Abdulgani dan sederetan nama lain yang sedikit banyak telah menjadi mentor kami. Dan tentunya, kepada Ibu Herawati Diah, saya sampaikan penghargaan setingginya atas peran dan jasanya.

Secara pribadi, saya tidak bisa melupakan jasa mereka. Begitu juga dengan JI AM Sangaji No 11 Jakarta, tempat saya digembleng menjadi wartawan, tak mungkin dapat saya lupakan. Tempat inilah yang kemudian sering disebut sebagai “sekolah jurnalisme” terkenal. 

Wartawan jebolan Merdeka juga sering disebut memberi inspirasi tentang dunia kewartawanan dan dunia pers secara luas. Banyak di antara mereka yang hingga kini masih menjadi pelopor di berbagai bidang penerbitan, bahkan ke dunia televisi sekalipun.

Dalam berbagai kesempatan kami selalu berbaur dengan masyarakat, pejabat, diplomat asing, tamu-tamu luar negeri, ataupun di forum-forum

formal. Nanti, kepada anak cucu akan selalu saya ceritakan soal ini. Jalan AM Sangaji 1 ibarat “battlefield training ground for journalists” yang mencetak wartawan-wartawan handal dalam menjalankan fungsinya, baik saat melakukan reportase, kontrol sosial, edukasi, pencerahan dan pengetahuan kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Di JI AM Sangaji, newsroom Merdeka berbaur menjadi satu dengan redaksi Indonesian Observer, majalah Topik, dan majalah Keluarga.

Lokasinya berada di lantai dua. Di sebelah kiri pintu masuk ruangan besar, terletak beberapa mesin telex dari kantor berita, seperti Antara,

Associated Press dan Agence France Press. Juga ada mesin telex dari kantor berita Jerman, DPA. Pada waktu itu belum ada workstation computer seperti sekarang. Kertas telex pun harus diganti ketika habis. 

Para wartawan, redaktur menggunakan mesin tik untuk menulis naskah jarak

satu spasi di kertas yang sudah di format untuk memperkirakan panjang naskah. Belum ada Microsoft Word, seperti sekarang yang bisa secara otomatis melakukan word count.

Naskah yang diketik kemudian diberikan kepada Kosasih Kamil yang akan meneruskannya kepada BM Diah, terutama untuk hal-hal yang sangat penting. Setelah diparaf, naskah diberikan kepada Bagian Composing, untuk diketik ulang menggunakan sistim compugraphic yang menyimpan tulisan dalam disket berukuran besar. Isi disket inilah yang kemudian

dicetak dalam bentuk strip kertas film putih untuk selanjutnya di-layout.

Adalah Slamet Bratanata yang pertama mengajarkan saya menggu-

nakan komputer PC XT dengan software Wordstar 3. PC XT kemudian berkembang menjadi PC AT yang lebih cepat. Perkembangan teknologi

di JI AM Sangaji 11 termasuk pesat. Sebab dialah media yang pertama

menggunakan compugraphic. 

Ketika komputer Macintosh MacPlus lahir, baraluh strip kertas film yang mahal bisa digantikan dengan kertas biasa, sehingga bisa menghemat biaya kertas film dan bahan kimia lainnya.

Pada era ini kita sebut dengan istilah desktop publishing. Tetapi imaging hasil layout masih tetap konvensional. Dengan imaging setiap halaman dibuatkan plat. Tidak seperti sekarang yang sudah menggunakan computer to plate.

Disamping kepiawaiannya dalam menulis, Slamet Bratanata juga sangat up to date tentang teknologi. Maklum ia seorang insinyur. Hingga

sekarang, saya masih ingat sekali mentorship yang sering diberikan oleh BM Diah, Ibu Herawati Diah, Slamet Bratanata, Diati Ganis Harsono, Kosasih Kamil, dan Virga Belan. 

Banyak sekali yang diajarkan oleh mereka tentang peran pers. Pers perjuangan, menyuarakan aspirasi rakyat, keadilan, kontrol sosial, politik, keseimbangan dan membentuk opini. 

Yang tidak kalah pentingnya, mereka juga mewariskan ilmu dan membentuk cara berpikir saya untuk menjadi berani dalam menyuarakan dan bertindak untuk kebenaran.

Virga Belan, yang bicaranya sangat lirih tetapi pemikirannya luar biasa, sering mengajak saya untuk berdiskusi tentang politik. 

Setelah menyelesaikan editorial Merdeka, beliau sering sekali mengeluarkan Johnny

Walker dan mengajak minum. Kebiasaan ini juga dianut oleh Gurbakhs Singh, waktu itu managing editor Indonesian Observer. Saya ingat ketika itu kami bertiga bisa menghabiskan setengah botol dalam satu malam.

Berbagi liputan kami tekuni, dari permasalahan di dalam negeri hingga luar negeri. Di dalam negeri, kami membuat liputan-liputan yang sebenarnya mengandung kebenaran, namun sangat sensitif bagi mereka yang

berada di lingkar kekuasaan. Terkadang menyangkut isu SARA, keluarga presiden, dan angkatan bersenjata. Ada semacam peraturan tidak tertulis di Merdeka Group. Yakni, kami harus menjauhi hal-hal sensitif tersebut.

Tetapi tidak jarang juga kami menyerempet ke hal-hal rawan itu. Akibatnya, kami pun dipanggil oleh pihak berwajib di Departemen Penerangan.

Peristiwa Santa Cruz, Timor Timur misalnya. Ketika itu pihak ABRI mendirikan pos penerangan khusus bagi pers. Berita dari Timor Timur

yang masuk ke Jakarta harus melalui pos ini. Bahkan tidak jarang, bagian penerangan dari ABRI mendatangi kantor redaksi Merdeka Group dan meminta foto-foto khusus yang dibuatnya, untuk dimuat. 

Jadilah foto Timor Timur yang dimuat itu hanya versi tentara.

Maklum, ketika itu dogma Pers Pancasila yang berlaku sangat kuat.

Dan, para wartawan yang belum mengikuti program doktrinasi pendidikan P4 tidak bisa berkembang dalam kariernya.

* * *

Kebijakan redaksional Merdeka pada waktu itu sangat lekat dengan pemikiran BM Diah, yakni berpihak pada yang disebutnya sebagai “less

represented”, yang tidak dapat menyuarakan pendapat lain akibat derasnya arus masuk informasi dari Barat yang tidak berimbang.

Seperti dalam era Perang Dingin (Cold War) antara dua superpower

dunia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet. BM Diah selalu berpesan agar kita harus selalu berimbang dalam menyajikan berita. 

Untuk itu, harian Merdeka dan Indonesian Observer berlangganan kantor berita Novosty.

Tujuannya, agar berita dan features dari Blok Timur bisa diterbitkan di

kedua suratkabar tersebut.

Ketika Mikhail Gorbachev berkuasa dan memperkenalkan glastnost dan

perestroika, harian Merdeka dan Indonesian Observer menjadi acuan pertama untuk pemberitaan. Apalagi, pada waktu itu BM Diah dan Soepeno Soemardjo berangkat ke Moskow menjadi tamu kehormatan Mikhail Gorbachev. BM Diah mengatakan pada saya peristiwa bersejarah tersebut

menjadi peristiwa puncak di karier beliau. sebagai wartawan.

Selain masalah-masalah serius, banyak pula hal-hal lucu yang terjadi

di redaksi harian Merdeka maupun Indonesian Observer, yang ketika itu

berada dalam satu atap. Antar kedua redaksi surat kabar itu tidak ada sekat tertutup, kecuali ruang pemimpin redaksi dan ruang Virga Belan.

Maklum Virga Belan harus berkonsentrasi penuh dalam membuat editorial. Pejabat sementara wakil pimpinan redaksi Indonesian Observer saat itu diberikan kepada Noel Oellah, seorang mantan pembawa berita program Bahasa Inggris di TVRI. Dia pun duduk di antara sederetan redaktur dan wartawan di ruang yang sama.

Sayangnya, kebersihan kurang terjaga. Sehingga tikus pun berkeliaran di ruang redaksi. Lucunya, hal ini sempat tercatat dalam Journalism Review terbitan Columbia University di New York. Begitu juga ketika peristiwa Chernobyl terjadi. Peristiwa besar itu tidak mendapat porsi pemberitaan secara wajar. la muncul sebagai berita kecil, dengan judul, “When Cher-

nobyl was not a story”. Lucu juga. Tapi bagi saya, hal ini terjadi mungkin disebabkan arahan yang diberikan BM Diah, salah diterjemahkan oleh

para redaktur. BM Diah memang sering berpesan bahwa yang harus dibela Merdeka Group adalah Uni Sovyet. Tapi bukan berarti peristiwa Chernobyl harus dikecilkan.

Yang unik lagi dibandingkan dengan surat kabar lain ialah Merdeka

dan Indonesian Observer berkewajiban untuk menulis Gorbachev sebagai

Gorbachov dan RRC sebagai Republik Rakyat Tiongkok. Tak sekadar kebibijakan tingkah laku para pemimpin di Merdeka pun rada aneh. Pemimpin Redaksi Merdeka Ahmad Adirsyah misalnya, saat muncul ke redaksi selalu menggebrak meja dan berteriak “sontoloyo”. Berbekal penggaris besi

panjang yang biasa digunakan untuk mengukur layout dipakainya untuk

menggebrak meja. “Sontoloyo!” Itulah kata pertamanya. 

Adirsyah diper-

caya oleh BM Diah karena hubungannya yang luar biasa dengan para pejabat Orde Baru. Apakah itu seorang berpangkat tinggi di tentara sampai Presiden Soeharto sekalipun, Adirsyah kenal dengan dengan mereka.

Maklum, dia adalah mantan wartawan senior di Sekretariat Negara.

***

Nama Merdeka identik dengan surat kabar nasionalis. Dari sejak didiri-

kan, BM Diah banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. Bahkan sampai ke luar negeri. Para diplomat asing selalu datang ke ruangan BM Diah, baik untuk memperkenalkan diri maupun berpamitan. Begitu juga

dengan para politisi nasional. Saya masih menyimpan foto dari Megawati Soekarnoputri ketika beliau silaturahmi ke BM Diah, yang dia sebut sebagai “Oom Diah”.

Saya masih ingat ketika Merdeka dan Indonesian Observer menurun-

kan berita ABRI mendukung Megawati. Berita itu mengutip pernyataan Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Jakarta pun sempat geger karena pada waktu itu masih di era Presiden Soeharto. Foto yang ditampilkan adalah Megawati dan Bill Clinton. Foto tersebut diambil ketika Megawati berkunjung ke Amerika sebagai anggota DPR dan bertemu dengan Bill

Clinton yang waktu itu menjabat Gubernur Arkansas.

Peristiwa penting lain yang sangat berkesan bagi saya adalah masalah

Kamboja. Indonesia mempunyai peranan penting dalam menyelenggarakan konperensi perdamaian yang disebut JIM 1 dan JIM2. Politik luar negeri Indonesia menganut faham bebas aktif. Sementara kebijakan redaksional Merdeka mendukung. Tapi dukungan itu hanya diberikan kepada

Hun Sen dan bukan Pangeran Norodom Sihanouk. Yang sering ditampilkan hanya Hun Sen karena didukung Republik Sosialis Vietnam. Dan, Merdeka lebih memilih Hun Sen sebagai perdana menteri waktu itu.

Ketika tentara Vietnam mundur dari Kamboja, tahun 1989, saya

mendapat tugas peliputan untuk melihat secara dekat pelaksaannya.

Dari Ho Chi Minh City, saya menyewa mobil untuk masuk ke Kamboja.

Di perbatasan, kami dihentikan oleh sekelompok tentara Kamboja. Saya

diberhentikan bukan karena mencurigakan mereka, melainkan karena mereka kagum bahwa ada seorang wartawan Indonesia datang ke negerinya. Dengan perasaan senang, mereka mengamati paspor saya berkali-kali. Semua ini dilakukan karena mereka mendengar tentang peran Indonesia yang sangat aktif menggagas berbagai perundingan perdamaian

Kamboja-Vietnam.

Lain halnya dengan tentara Vietnam. Raut muka mereka keras tanpa

senyum sedikitpun. Yang penting semua formalitas dipenuhi. Sepanjang jalan yang saya kunjungi terlihat memprihatinkan. Ada bekas pabrik Coca-Cola yang hancur karena perang. Padahal, Kamboja di masa sebelumnya

merupakan negeri indah penuh pesona dan makmur.

Ketika kembali dari Kamboja, di pedesaan Vietnam saya perhatikan

bahwa listrik sudah masuk desa dan tidak pernah mati. Orang Vietnam

juga sangat ramah dan jujur. “Kami negara miskin tetapi kami pekerja

keras,” ujar seorang pemandu.

Kota Ho Chi Minh City sangat berkesan bagi saya. 

Berbagai peninggalan Perancis masih terlihat disana-sini. Jalan-jalan ramai dengan sepeda

motor. Wanitanya pun cantik-cantik. Cerita BM Diah dan Kosasih Kamil

soal yang satu ini, ternyata benar. Saya pun sangat kagum dengan sejarah Vietnam dan peran tokoh besar negeri itu, Jenderal Vo Nguyen Giap.

Tugas liputan yang juga sangat berkesan adalah saat saya melawat ke Korea Utara. Hanya ada dua wartawan yang mengunjungi Korea Utara.

Yang pertama adalah Soepeno Soemardjo dan kedua saya sendiri. Saya melihat buku tamu di perbatasan Korea Utara-Korea Selatan ada nama

Soepeno Sumardjo dan nama seorang wartawan Amerika. Jadi saya telah melihat Korea dari dua sisi. Di sebelah utara garis demarkasi dan dari sebelah selatan.

Saya mengunjungi Kaesong City, kota perbatasan yang letaknya 60

kilometer dari ibukota Korea Selatan, Seoul dan 200 kilometer selatan

Pyongyang. Anehnya sepanjang perjalanan dengan minibus dari Pyongyang menuju Kaesong City sangat sepi sekali. Padahal, jarak tempuh cukup singkat karena jalan rayanya sangat bagus. Konon jalan ini adalah jalan rahasia agar mudah menyerbu Seoul jika perang terjadi.

Di pagi hari, lagu-lagu perjuangan selalu dikumandangkan untuk mem-

bangun semangat penduduknya, dalam melakukan pekerjaan sehari

hari, yaitu bertani. Wanita tua pun bekerja. 

Disamping itu mereka me-

miliki kemahiran dalam ilmu bela diri teakwondo. Semangat inilah yang

paling ditakuti Korea Selatan dan Amerika, sehingga memobilisasi satu

juta tentara di perbatasan. Sementara di Korea Utara, boleh dikatakan semua rakyatnya adalah tentara.

Saya sempat dekat sekali berada di garis demarkasi. Sedikit kesala-

han dengan menginjakan kaki melewati garis akan menimbulkan tembak menembak.

Liputan lain yang berkesan ketika BM Diah menugaskan peliputan pe-

milihan umum demokratis pertama di Rusia setelah Uni Sovyet pecah.

Bayangkan pukul 04.30 pagi ketika suhu berada di minus 15 derajat celcius, saya harus sudah berada di tempat Boris Yeltsin memberikan

suaranya.

Untung ada koresponden Merdeka di Moskow, yang bernama Sakharov.

Dia bekas diplomat teman dekat BM Diah. Tanpa dia mustahil wartawan

bisa meliput dalam keadaan seperti itu.

* * *

Saya masih ingat ketika pertama kali dipanggil BM Diah ke ruangannya. Sebelum itu, sering diceritakan oleh Kosasih Kamil bahwa tidak

semua orang bisa dipanggil ke ruangan BM Diah. Hanya orang yang sudah lama mengenal sifat-sifatnya dan mengetahui betul kebijakan redaksional Merdeka, yang bisa bertemu langsung dengan BM Diah.

Jadilah, BM Diah digambarkan sebagai sosok yang ditakuti. 

Maklum BM Diah tidak segan-segan untuk mencoret coret tulisan kami, dengan kata-kata seperti “you fool, dont’ you understand!” Tetapi jika BM Diah setuju, paraf huruf D kecil yang agak miring itulah yang menentukan naskah berita bisa diturunkan atau tidak.

“Yanto, are you afraid of me?” BM Diah bertanya pada saya. Saya jawab

“why should I be afraid of you Pak if I haven’t done anything wrong”. BM Diah, yang selalu berbahasà Inggris dengan saya, tersenyum. BM Diah

kenal dan mengetahui benar siapa saya, sebagai anak seorang pejuang

dalam peristiwa 10 November di Surabaya, bersama Bung Tomo.

Saat itulah saya diberitahu dan diberi tugas sebagai pejabat pemimpin redaksi harian berbahasa Inggris Indonesian Observer, jabatan yang sebelumnya dipegang oleh BM Diah. Di tahun 1993, saya berpamitan kepada BM Diah untuk bergabung dengan RCTI. Pertemuan saya terakhir

dengan BM Diah ketika saya melakukan wawancara televisi dengannya, beberapa saat sebelum beliau meninggal.

Berkat Ibu Diah dan rekomendasi yang diberikannya, saya pernah

mendapatkan scholarship dari Asia Foundation, belajar dan praktek kerja

di Amerika Serikat di Center for Foreign Journalists, Reston, Virginia, USA Today, Associated Press dan sempat mendapat sejumlah kuliah berharga dari para professor di George Washington University dan Columbia University School of Journalism. Saya juga sempat meneliti etika di Us Congress

di Washington dan meliput di New York.

Kenangan dan kesan dari battlefield training ground for journalists

JI AM Sangaji 11, Jakarta tentunya tidak dapat dilupakan sebagai pe-

ngalaman dalam hidup saya. Tulisan ini juga saya persembahkan kepada

rekan-rekan seperjuangan saya, Karim Paputungan, Kiki Iswara, Yasofi Bachtiar, Asro Kamal Rokan, Neta S Pane, Syahdanur dan sederetan nama lain yang pernah menjadi awak penerbitan suratkabar Merdeka dan Indonesian Observer.*