Dari titik itulah langkah kaki menggantikan roda. Setapak tanah merah membawa kami masuk ke Desa Kanekes. Suara mesin mobil tertinggal jauh, digantikan bunyi daun, serangga, dan napas kami sendiri.

Oleh: M. Harry Mulya Zein, pakar ilmu pemerintahan, tinggal di Tangerang, Provinsi Banten.

Masyarakat adat Baduy di kawasan terpencil, Kabupaten Lebak, Banten.

Tahun (1980).
Kami berempat: Aku, Dita, Alek dan Danan—sama-sama mahasiswa angkatan’79 FIS-UI—berangkat dengan satu mobil Toyota Hard Top tua berwarna hijau lumut.

Mobil itu bukan sekadar kendaraan; ia adalah simbol petualangan kecil kami, keras, berisik, dan penuh debu, tetapi setia membawa idealisme mahasiswa yang ingin melihat Indonesia dari pinggirnya.

Dari Jakarta, jalan panjang membawa kami keluar dari hiruk-pikuk kota menuju Kabupaten Lebak, Banten.

Semakin jauh, aspal makin menyempit, rumah-rumah modern berganti bilik kayu, dan papan iklan menghilang satu per satu.

Hingga akhirnya mobil kami berhenti di sebuah titik yang terasa seperti batas dunia: Tugu “Welcome to Baduy.”

Kami turun dari Hard Top itu dalam diam sejenak. Angin kampung menyambut tanpa basa-basi. Di depan kami, jalan tanah membentang, hutan berdiri seperti pagar alami, dan waktu terasa melambat. Salah satu temanku menepuk bodi mobil sambil tersenyum, “Sampai di sini saja teknologi boleh ikut.” Kami tertawa kecil, lalu memanggul ransel.

Dari titik itulah langkah kaki menggantikan roda. Setapak tanah merah membawa kami masuk ke Desa Kanekes. Suara mesin mobil tertinggal jauh, digantikan bunyi daun, serangga, dan napas kami sendiri. Di sepanjang perjalanan, teori-teori tentang pembangunan, modernisasi, dan perubahan sosial yang sering kami debatkan di ruang kelas Salemba terasa kikuk—seperti tamu yang salah pakaian.

Seorang lelaki Baduy Luar menyambut kami. Pakaian hitamnya sederhana, ikat kepala putihnya bersih.

Wajahnya datar namun ramah. Ia tak banyak bertanya, hanya mengangguk, lalu berjalan di depan kami.

Kami mengikutinya tanpa banyak kata, seolah sadar bahwa di tempat ini, bicara berlebihan adalah bentuk ketidaksopanan.

Malam kami lewati di rumah panggung. Tanpa listrik, tanpa radio, tanpa jam. Api kecil menyala, bulan menggantung rendah, dan percakapan kami mengalir pelan. Aku menulis di buku catatan: Di sini, manusia tidak menguasai alam. Mereka hidup berdampingan dengannya.

Pagi harinya, kami melihat huma—ladang yang dikerjakan tanpa melukai tanah. Seorang tetua Baduy berkata lirih, namun tegas, “Gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak.” Gunung tak boleh diratakan, hutan tak boleh dirusak. Kalimat singkat itu terasa lebih kuat daripada makalah-makalah tebal yang sering kami kumpulkan demi nilai.

Saat kembali ke Tugu “Welcome to Baduy,” Toyota Hard Top kami masih setia menunggu, berlapis debu. Kami naik tanpa banyak bicara. Mesin dinyalakan, suara keras kembali hadir, dan dunia modern menyambut kami lagi.

Namun aku tahu, sejak perjalanan itu, ada bagian dari diriku yang tertinggal di Kanekes—bersama langkah-langkah pelan, kesunyian hutan, dan pelajaran bahwa tidak semua yang maju harus bergerak ke depan; sebagian justru bertahan agar tetap waras.(*)

Leave a comment