Refleksi Akhir Tahun 2025 Forum Senja Kerja Sama Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat (Bagian ke-7, Habis)

Oleh: Dr. Zarman Syah

  • Wakil Ketua Umum Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Dosen London School of Public Relations (LSPR), Jakarta, dan Anggota Diskusi Forum Senja

 

Dr. Zarman Syah

BARU-baru ini, sekitar seminggu lalu. Ditengah hiruk-pikuk nasional soal bencana Sumatera apakah katagori Nasional atau bukan, Lembaga Internasional terkemuka untuk Program Lingkungan (UNEP) menyeleksi sejumlah toko bu h lingkungan hidup dunia. 

Mereka diseleksi untuk menerima anugerah Champions of the Earth (Sang Juara untuk Bumi). Tentu saja, yang dipilih adalah organisasi juga perorangan. Mereka yang bersungguh-sungguh mendorong aksi iklim transformatif bagi bumi yang tengah mengalami krisis lingkungan. Yakni, mereka yang kegiatan seriusnya adalah memajukan langkah-langkah penurunan panas bumi secara berkelanjutan. 

Termasuk, gagasan pemikiran kembali bagaimana merancang desain pembangun kota-kota yang ramah lingkungan, perlindungan terhadap hutan dan kehidupan biodiversity di dalamnya, pengurangan emisi metana, hingga aksi mewujudkan keadilan iklim bagi kehidupan yang paling rentan. 

Peraih Juara Bumi 2025 kali ini, tercatat telah berada di garis depan pada upaya global tersebut dalam kurun waktu cukup lama. Guna membuktikan bahwa solusi tentang penyelamatan bumi sudah ada dan harus terus menerus ditingkatkan, baik pada skala ataupun kapasitasnya.

Lantas, apakah ada perorangan atau organisasi di tanah air menerima penghargaan itu? Sayangnya tidak. Selama 10 tahun lebih, Indonesia masuk nominasi pun belum. 

UNEP, di tahun 2025 ini menjaring 127 penerima anugerah. Sekaligus, UNEP memperingarti 20 tahun Anniversary of the Champions of the Earth awards. Jumlah tepatnya 28 orang adalah para pimpinan negara, 77 merupakan aktifis lingkungan perorangan, sisanya 22 lagi adalah organisasi yang bergerak untuk keberlanjutan lingkungan hidup.

Kriterianya adalah, bagi para pemimpin tentu terkait dengan kebijakan yang telah mereka buat dan kerjakan. Sehingga ia selaku individu, turut mempengaruhi atau memajukan langkah-langkah global, regional, atau nasional melalui intervensi kebijakan dalam meningkatkan penyelamatanlingkungan. 

Mereka juga telah membangun dialog, mendorong komitmen bersama, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan lingkungan demi kesejahteraan planet ini. 

Bahkan,mengambil langkah berani guna menginspirasi perubahan positif dalam melindungi kehidupan di bumi. Sekaligus juga memberi suri-tauladan, menantang perilaku pengrusakan lingkungan, dan menginspirasi masyarakat luas menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.

Bagi organisasi dan perorangan, sebenarnya kriteria yang dipakai tidak jauh berbeda. Sama-sama memiliki visi kewirausahaan ‘‘save the earth’’. Yakni para visioner yang sanggup menantang arus kuat dan status quo, guna membangun kepentingan masa depan yang lebih baik dan terjaga. 

Mewariskan kepada generasi dibawahnya, lingkungan yang tertata tanpa pencemaran dan kerusakan. Mentrasformasikan sikap militansi dalam membangun green sistem, menciptakan teknologi baru yang ramah lingkungan, dan mempelopori visi yang kreatif inovatif dalam penyelamatan kehidupan bumi bersama isinya.

Antara lain juga mencakup tentang pentingnya peranan sains dan inovasi. Sekaligus juga mendorong para perintis individual, meminggirkan batas-batas pemanfaatan teknologi dalam mewujudkan lingkungan yang tertata lebih mendalam serta luas. 

Mereka menciptakan kemungkinan untuk dunia yang lebih bersih dan baik serta berkelanjutan. Demi terjaganya keaneka-ragaman kehidupan di hutan serta lautan sebagai satu kesatuan ekosistem hijau yang tidak terpisahkan.

Indonesia sebenarnya bukan tidak pernah menerima penghargaan tersebut. Pada akhir masa jabatannya, mantan Presiden Susilo Yudhoyono telah meraihnya. Tepatnya di bulan Desember tahun 2014. Ia dinilai berdiri teguh pada pendiriannya di tengah penentangnya para oligarki yang terkadang sangat sengit. 

Integritasnya terhadap lingkungan sebagai prinsip utama pembangunan nasional berkelanjutan,memungkinkan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi inklusif yang stabil. 

Sambil mendukung dan mempromosikan program Green Development Global yang rendah karbon.

Dihadapan KTT Pemimpin G-20 tahun 2009 di Pittsburgh, ia merupakan presiden pertama dari negara berkembang, yang secara sukarela berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Ia berkomitmen melanjutkan memangkas emisi hingga 41% hingga di tahun 2020 saat ia tidak lagi sebagai presiden.

Ditengah prediksi berdasarkan skenario bisnis inteljen maraknya kebakaran hutan dan deforestasi guna penanaman sawit. Ia telah membuktikan ucapannya dengan tindakan nyata ketika ia memberlakukan moratorium dua tahun untuk konsesi penebangan hutan. 

Pada tahun 2011, di tengah tekanan industri oligarkhi yang sangat kuat, ia malahan melakukan perpanjangan moratorium tersebut selama dua tahun lagi. 

SBY tanpa ragu menindaklanjutinya di tahun 2013. Saat ia menandatangani pembentukan lembaga REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) yang pertama di dunia pada tingkat kabinet pemerintahan.

Sebagai pemimpin negara, ia juga berupaya untuk menyebarkan kesadaran masyrakat Indonesia tentang pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berharga serta bertanggung jawab. 

Melalui program mengintegrasikan konservasi lingkungan ke dalam kurikulum pengajaran nasional. Bahkan mempersulit dan menghukum para pelaku kejahatan lingkungan yang mencoba menghindari penuntutan atas kejahatannya. 

Keteladannya sebagai seorang politisi yang tidak takut menempuh jalan hijau adalah sesuatu yang dapat menjadi kekuatan bagi banyak pemimpin negara berkembang lainnya. 

Kata-katanya ketika berpidato pada pertemuan G-20 yang  selalu dikenang yakni, ‘‘ … adalah sebuah kemungkinan kita  bersama untuk menyembuhkan perekonomian global dan sekaligus menyelamatkan planet ini pada saat yang bersamaan.”

Kata-kata tokoh environmentalis Indonesia, Emil Salim,bahwa membangun tidak selalu identik dengan menjaga lingkungan ternyata kini menjadi kenyataan. 

Porak-porandanya kehidupan di Sumatera akibat ‘‘sudden onset disaster’’ akhir Nopember 2025 lalu adalah empirik yang tidak terbantahkan. 

Korban jiwa terus mengalami eskalasi hingga mencapai ke angka 1250 jiwa. Dari 18 kabupaten dan kota, tercatat lebih dari 52 ribu kepala keluarga atau hampir 2 juta jiwa terkena dampak musibah bencana. 

Adalah wilayah di Aceh yang menunjukkan skala kehancuran yang sangat luas serta sangat masif. 

 Layak bila kemudian Amnesty International Indonesia mengkritik tajam klaim pemerintah pusat yang menyatakan Indonesia mampu menangani sendiri bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh serta sejumlah wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat. 

Tanpa memerlukan lagi bantuan internasional. Nyatanya kondisi faktual di lapangan sangat bertolak belakang. Mereka menyampaikan melalui surat terbuka bernomor 248/AII–Presiden RI/XII/2025 tertanggal 12 Desember 2025. 

Bahkan, bencana nasional ekologis dinilai telah berkembang pada tingkatan krisis kemanusiaan yang sangat serius. Diperparah oleh lambannya gerak respons  pemerintah Prabowo terhadap kerusakan lingkungan hidup yang masif dan sistematis. 

Sebuah musibah nasional yang tidak saja merupakan bencana ekologis belaka namun sekaligus juga indikator bencana moral dan akhlaq para pimpinan dan pejabatnya. Anugerah PBB untuk bangsa Indonesia ‘‘the Champions of the Earth’’ tersapu bersih dalam hitungan hari dan jam. 

Sejumlah NGO dan CSO nasional maupun internasional juga telah mulai mengajukan tuntutannya. Bagi mereka, ini sudah bukan lagi sebuah kejahatan terhadap lingkungan hidup. 

Lebih layak dan tepat bila ditempatkan pada tataran kejahatan terhadap Hak-hak Azasi Manusia. Lebih ekstrim lagi, suatu kejahatan Ekosida yang berada lima tingkatan di atas Genosida yang terjadi di Gaza, Palestina. (*).

Leave a comment