Musik dan Film Indonesia di Tahun 2025 (Bagian ke-4)
Oleh: Yanto Soegiarto
- Mantan Pemimpin Redaksi Indonesian Observer, Head of Content astaga.com, mantan Pemimpin Redaksi RCTI, Managing Editor Majalah Globe Asia dan kolumnis Jakarta Globe

+ + +
2025 merupakan tahun yang cukup istimewa bagi Indonesia di bidang musik. Panggung musik tidak bisa lepas dari peran media sosial, televisi, dan podcast.
Bahkan media sosial dan televisi menjadi panggung utama semua genre musik termasuk rock, pop, jazz, dan dangdut.
Begitu juga dengan sinema, Netflix yang membesarkan film bertemakan cinta, kesedihan, horor dengan berbagai sentuhan ataupun sequence yang menyayat hati, kesedihan, ketakutan, tetapi terbukti menjadi pilihan utama hiburan bagi masyarakat Indonesia.
Indonesia sangat kaya akan talenta musik sehingga dalam ajang “Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards” terdapat sampai 63 kategori penghargaan bagi industri musik. Mengingat banyak nya penghargaan yang diberikan sebagai apresiasi kepada industri musik, tentunya tidak semua karya musik bisa dicantumkan dalam tulisan ini.
Catatan yang bisa menjadi highlight, penghargaan AMI Awards ini yang ber-tagline “Bhinneka Tunggal Suara”, merajut sukses menjadi lambang persatuan dalam keragaman musik Indonesia.
Dari berbagai latar belakang, alunan semua genre musik Indonesia berpadu membentuk identitas musikal bangsa.
Namun tidak hanya di pagelaran prestisius ini para musisi berkiprah. Sebut saja grup musik Barasuara yang baru saja manggung dalam konser “Symphonesia Viral: 100% Musik Indonesia” pimpinan conductor kondang Erwin Gutawa di Taman Ismail Marzuki. Barasuara mengusung genre musik yang sering disebut alternative rock, dikenal dengan lirik bahasa Indonesia puitis dan penampilan energik, menciptakan suara yang khas dan berakar pada budaya lokal.

Barasuara fokus pada ekspresi “menjadi orang Indonesia” lewat musik yang bersentuhan dengan masalah social and humanity. Karya musik grup ini “Terbuang Dalam Waktu” bahkan menjadi soundtrack dalam film “Sore:Istri dan Masa Depan” yang akan tayang Januari 2026.
Nama-nama artis lama masih berjaya di tahun 2025 ini. Raisa misalnya mendapat penghargaan sebagai best female solo artist dengan lagunya “Terserah”, sementara bintang-bintang Indonesian Idol Ronny Parulian dan Salma Salsabil meraih penghargaan dengan lagunya masing masing “Pesona Sederhana” dan “Berharap Pada Timur”.
Tahun 2025 ini musisi jazz ternama Indra Lesmana masih langgeng namun demikian ada juga jazz band pendatang baru seperti Societeit de Harmonie yang kerap membawakan lagu nostalgia a la jazz seperti “Aku Tak Ingin Sendiri.”
Jika di masa yang lalu pagelaran Java Jazz diadakan di Kemayoran, perhelatan jazz terbesar ini akan digelar di venue baru di PIK 2 pada tahun 2026.
Musik tradisonal seperti dangdut dan kroncong pun tidak lepas dari perhatian masyarakat. Lesti Kejora misalnya dengan “Dilema”, Nabila Turin dengan “Keroncong Rangkaian Mutiara” masih berkumandang di masyarakat. Tidak ketinggalan juga karya berlirik spiritual Islami karya Yura Yunita berjudul “Tanda” mendapat tempat di hati penggemarnya.
Jika di tahun-tahun sebelumnya lagu hits viral seperti “Cikini ke Gondangdia” dibawakan di puncak peringatan KTT ASEAN oleh Aurellie Moormans, atau lagu Rungkadnya Happy Asmara yang sangat popular di semua kalangan sampai sekarang, tahun 2025 dibuat gempar oleh lagu super viral “Tabola Bale” oleh pencipta lagu pop terbaik AMI Awards Siprianus Bhuka.
Lagu ini sedemikian viralnya sehingga bisa dikatakan membangkitkan semangat persatuan dan mengharumkan nama Indonesia di panggung internasional.
Mengapa viral? Karena perpaduan musik khas Nusa Tenggara Timur ini dengan bahasa daerah yang liriknya mudah diingat tentang cinta yang menggelisahkan tetapi musiknya sangat menggairahkan untuk ikut menyanyi dan berdansa.
Oleh karena lirik dan irama nya yg sangat spektakuler Tabola Bale dijadikan lagu berjoget di puncak peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 80 di Istana Merdeka yang dimeriahkan oleh berbagai kalangan anak muda, lansia, pejabat, dan presiden.
Tidak hanya itu, Tabola Bale kini menjadi ilustrasi musik berbagai jenis iklan dari penjual busana hingga makanan. You Tube mencatat lagu ini memecahkan rekor dengan 300 juta viewers. Lagu yang fenomenal ini jelas menggambarkan bahwa musik lokal bisa diapresiasi dan dinikmati oleh siapa saja dimana pun.
Peran AI Dalam Musik
Dengan adanya artificial intelligence (AI), kini sudah banyak artis-artis virtual tampil gencar di medsos dan sulit dibedakan dari penyanyi-penyanyi asli. Ini dimungkinkan karena sudah ada aplikasi “Suno” dan teknologi AI lainnya yang bisa mentransfer video to video maupun image to video bisa menggabungkan motion atau still images satu sama lain dengan pixel tinggi sehingga membuat virtual pun menjadi lifelike atau manusia sungguhan.
Jika Anda melihat penyanyi cantik di Instagram atau TikTok yang menyanyikan lagu-lagu terkenal, sulit membedakan penyanyi sungguhan atau tidak karena raut wajah dan warna kulit bisa menyerupai, bahkan lebih tajam melebihi yang asli.
Kepada Forum Senja pengamat musik Deny Secaatmadja memberi tanggapannya. “Di tahun 2025 ini, industri musik kita, dan dunia, semakin dalam memasuki dunia digital. Platform streaming, media sosial, dan teknologi AI telah jadi bagian penting dalam produksi, distribusi, hingga monetisasi sebuah karya musik”
Film Indonesia Berkiprah Internasional
Dampaknya, kata dia, sebagian musisi dan promotor konser dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan tersebut. Adaptasi menjadi kunci, baik dalam cara berkarya, memasarkan musik, maupun menjangkau penonton.
Namun demikian, Deny yang bekerja sebagai konsultan konser dan program TV perusahaan kreatif Kolam Ikan mengatakan dia percaya, pada 2026 nanti, meski dunia digital akan terus berkembang, sebagian penikmat musik akan mulai kembali mencari karya yang memiliki rasa, jiwa, dan kejujuran manusia, bukan sekadar suara yang dihasilkan mesin.
“Mereka akan memilih tontonan yang memunculkan kenangan. Maka untuk musisi dan promotor, harus menyikapi AI sebagai partner bukan ancaman. Harus semakin jeli membaca peluang menggabungkan teknologi dengan sentuhan emosional agar tetap relevan dan tidak tertinggal oleh perubahan zaman,” ujarnya.
Intinya, di era AI dan digital ini, sebagian penonton tidak hanya datang ke sebuah acara musik, untuk mendengar suara yang “sempurna”, tapi untuk merasakan kehadiran manusia di balik musik.
Karya dan konser yang meninggalkan kenangan indah adalah yang membuat penonton pulang dengan perasaan: “Saya merasa terhubung, saya merasa ditemani.”
“Itulah nilai yang tidak bisa digantikan mesin,” tutup Deny.
Perkembangan film-making di Indonesia juga mencatat prestasi yang bagus. Walaupun sutradara dan produser ternama seperti Joko Anwar, Manoj Punjabi dan Mira Lesmana masih berjaya membuat film-film berkualitas, di dunia perfilman muncul sineas-sineas baru yang melakukan transformasi besar lewat keberanian para produser yang tidak hanya memproduksi tontonan, tetapi juga mengusung misi perubahan.
Angga Dwimas Sasongko misalnya, berhasil mendorong perfilman nasional ke level yang lebih inklusif, lintas usia, lintas budaya, dan kompetitif secara global dengan filmnya “Jumbo” yang berhasil mencetak rekor jumlah penonton 10 juta lebih.
Berbeda dengan film konvensional, Jumbo berupa film animasi keluarga yang disutradarai oleh Ryan Adriandhy dan dibintangi oleh antara lain Bunga Citra Lestari dan Ariel Noah.
Film ini bercerita tentang Don, seorang anak laki-laki yang berusaha mementaskan sebuah pertunjukan teater dalam sebuah ajang bakat lokal setelah merasa diremehkan oleh teman-temannya.
Jumbo hingga Juni 2025 menjadi film Indonesia dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa, menggusur film KKN di Desa Penari.
Sementara itu Ernest Prakasa dan Dipa Andika membuat film komedi “Agak Laen 2”. Tayang di akhir tahun ini muncul sebagai film yang bukan hanya membuat tawa, tapi juga ceritanya emosional.
Memang film komedi jadi pilihan masyarakat selama ini yang kerap dibintangi maupun di sutradarai oleh para comedian. Oleh karena hebat nya hype Agak Laen, jumlah penonton sudah melampau 7 juta orang. Film ini sudah menjadi talk of the town di akhir tahun karena mampu menjadi pilihan tepat sebagai hiburan berkualitas.
Hadirnya sineas-sineas muda di industry film telah memberi angin segar bagi perkembangan perfilman di Indonesia dari segi kreatifitas, ide dan kekinian. Diantara nya Edwin Nazir, produser film Abadi Nan Jaya dan actor kondang Reza Rahadian yg membuat film Pangku.
Film Abadi Nan Jaya atau The Elixir judul di Netflix, adalah film horor zombie Indonesia yang mengisahkan keluarga disfungsional pemilik usaha jamu “Wani Waras” di Yogyakarta, di mana ambisi kepala keluarga menciptakan ramuan awet muda justru menyebabkan wabah zombie yang menyebar ke seluruh desa, memaksa keluarga Sadimin tersebut untuk bersatu dan bertahan hidup sambil mengungkap rahasia kelam di balik ramuan tersebut.
Wabah zombie ini unik karena terinspirasi dari tanaman kantong semar. Dan film ini menyoroti konflik keluarga serta isu budaya tentang kerakusan akan keabadian.
Sadimin menciptakan jamu “Abadi Nan Jaya” untuk awet muda, namun malah mengubahnya menjadi zombie yang ganas, memulai wabah yang menghancurkan desanya.
Film ini menggali konflik keluarga, kerakusan manusia akan keabadian, dan bagaimana modernitas tanpa kesadaran budaya bisa membawa kehancuran.
Ditanya tentang latar belakang pemeberian nama Abadi Nan Jaya, kepada Forum Senja, Edwin Nazir mengatakan: “Abadi Nan Jaya puitis, dan satu sisi menggambarkan ambisi karakter Pak Sadimin yang ingin abadi dengan berupaya jadi muda kembali.”

Secara visual teknik pengambilan gambar film ini bagus. Apa ada unsur AI dalam pembuatan film itu? Edwin mengatakan: “Kami banyak menggunakan visual effect tapi bukan AI.”
Edwin berangkat dari penyiar berita stasiun TV RCTI di tahun 2000-an. Namanya lama tak terdengar hingga mencuat dengan memproduksi film ini yang menurut banyak penonton judul film ini menggelitik disamping berkesan sebagai film zombie layar lebar pertama Indonesia.
Sedangkan Reza Rahadian yang terkenal membintangi film “Habibie” bersama Bunga Citra Lestari, dari best actor kini sudah menjadi sutradara film Pangku yang merupakan Film Terbaik FFI 2025, serta sukses di Festival Film Internasional Busan 2025.
Film Pangku menceritakan perjuangan Sartika, seorang ibu tunggal hamil yang terpaksa bekerja sebagai pelayan di warung kopi “pangku” di jalur Pantura untuk bertahan hidup. Ia tidak punya banyak pilihan selain bekerja di warung kopi di mana pelanggan memangku pelayannya. Film ini menyoroti tema-tema perjuangan, cinta, harapan, dan pilihan hidup yang sulit dalam realitas keras.

Sartika meninggalkan kota asalnya demi kehidupan yang lebih baik bagi bayinya, namun perjalanannya membawanya ke Pantura di mana ia menjadi pelayan di warung kopi pangku.
Ia dibantu oleh Bu Maya yang dibintangi Christine Hakim, pemilik kedai kopi, dan bertemu Hadi (Ferdi Nuril), seorang sopir truk yang menjadi harapan dalam hidupnya.
Film ini mengeksplorasi isu sosial dan konflik personal, perjuangan perempuan, dan kerasnya kehidupan di pinggiran Pantura.
Kepada Forum Senja, kritkus film Ekky Imanjaya, Ph.D. dari departemen film Binus University mengatakan film “Pangku” adalah “kuda hitam” dan kejutan manis sinema Indonesia.
“Film ini sebenarnya mengandung materi yang mengarah pada “poverty porn”: single mom, miskin, menyelami dunia malam pantura dan pelacuran “kelas teri”.
Tapi Reza Rahadian memilih untuk tidak mengeksploitasi itu, dan menjadikannya sumber air mata (tearjerker). Tidak terlihat film ini merendahkan perempuan ataupun kemiskinan dan berbagai efek sampingnya.”
Ekky yang dihubungi dalam perjalanannya ke Festival Film Horor di Pacitan menambahkan: “Sebaliknya, Reza menyalurkan rasa simpati dan keberpihakannya kepada fenomena ‘Kopi Pangku’ yang ia temui saat melalui daerah itu. Reza mengundang penonton lewat mata kamera, hadir dan menyaksikan sendiri pergumulan seorang dari ribuan rakyat jelata untuk sekadar hidup merdeka, punya hak untuk berharap. Film ini memanusiakan mereka yang terpinggirkan.” (*)
Leave a comment