Dalam politik praktis, kebenaran sering kali terlalu mahal untuk dipertahankan. Ia harus dinegosiasikan, dipoles, bahkan dikorbankan demi elektabilitas.


Oleh : M. Harry Mulya Zein, tinggal di Kota Tangerang- Indonesia

Kekalahan dalam Pilkada 2013 tidak datang sebagai ledakan, melainkan sebagai kesunyian yang memanjang.

Ia tidak menumbangkan tubuh, tetapi mengguncang cara berpikir. Ketika angka-angka resmi diumumkan, aku tidak lagi bertanya mengapa aku kalah, melainkan pada apa sebenarnya aku pernah menang.

Sejak hari itu, politik praktis kehilangan daya tariknya. Bukan karena aku mengingkari proses demokrasi, tetapi karena aku menyaksikan dari jarak terdekat betapa politik sering kali bekerja bukan melalui gagasan, melainkan melalui transaksi—halus, rapi, dan sulit dibuktikan. Idealismeku tidak patah, hanya berpindah alamat.

Aku menarik diri. Bukan dalam arti melarikan diri, melainkan mengambil jarak yang sadar. Aku berhenti menghitung suara dan mulai menghitung argumen. Panggung-panggung kampanye berganti menjadi meja baca. Spanduk digantikan oleh buku. Dari Machiavelli aku belajar tentang kekuasaan apa adanya, dari Hannah Arendt tentang tanggung jawab moral, dari para pemikir demokrasi tentang ironi sistem yang konon memberi ruang bagi semua, tetapi kerap menyisakan yang paling jujur di pinggir arena.

Dalam politik praktis, kebenaran sering kali terlalu mahal untuk dipertahankan. Ia harus dinegosiasikan, dipoles, bahkan dikorbankan demi elektabilitas. Aku tidak menuduh siapa pun; aku hanya mencatat. Dan catatan itu cukup bagiku untuk tidak kembali.

Anehnya, justru setelah kalah aku merasa lebih dekat dengan hakikat politik. Politik sebagai ilmu pengetahuan tidak menuntut sorak-sorai, tidak memerlukan massa, dan tidak memaksa kompromi yang merusak nalar. Ia menuntut ketekunan, keberanian berpikir jernih, dan kesediaan menerima bahwa kekuasaan bukan tujuan akhir peradaban.

Kini aku membaca politik seperti seorang anatom membaca tubuh manusia—tanpa ilusi, tanpa kebencian. Pilkada, koalisi, manuver elite, dan retorika populis kulihat sebagai gejala, bukan sebagai panggilan. Aku lebih tertarik pada sebab, struktur, dan dampak jangka panjangnya terhadap demokrasi dan etika publik.

Sesekali ada yang menyebut namaku dengan nada nostalgia, seolah kekalahan adalah jeda sebelum kebangkitan. Mereka keliru. Kekalahan itu bukan jeda, melainkan penutup satu bab. Aku tidak kehilangan politik; aku justru menyelamatkannya dari diriku sendiri.

Karena tidak semua orang harus berada di lingkar kekuasaan. Sebagian cukup berdiri di luar, berpikir, menulis, dan menjaga agar politik tetap waras—setidaknya dalam bahasa dan pengetahuan. Dan di sanalah, setelah kekalahan itu, aku menemukan bentuk kemenangan yang paling sunyi, sekaligus paling jujur.(*)

Leave a comment