Suara mesin mobil bercampur desir angin mengingatkanku pada masa ketika perjalanan bukan soal cepat sampai, melainkan tentang menikmati setiap tikungan.

Oleh : M. Harry Mulya Zein, tinggal di Tangerang- Indonesia

GUNUNG Karang di Pandeglang menyimpan seribu kenangan bagiku. Dari sanalah ingatanku tentang kampung bermula—tentang jalan menanjak yang belum sepenuhnya beraspal, kabut yang turun pelan setiap sore, dan sunyi yang tidak pernah menakutkan. Gunung itu seperti orang tua yang diam, tetapi menyimpan banyak cerita.

Aku datang dari kampung di kaki Gunung Karang. Sejak kecil, aku sudah akrab dengan tanjakan dan jalan berbatu. Maka ketika dewasa dan mengenal kota, seleraku tidak banyak berubah. Aku memfavoritkan jeep willys buatan Amerika—kendaraan yang tidak rewel pada medan, seperti orang kampung yang terbiasa hidup tanpa banyak keluhan.

Setiap kali aku mengemudikan jeep itu menuju Gunung Karang, kenangan lama seakan bangkit. Suara mesin bercampur desir angin mengingatkanku pada masa ketika perjalanan bukan soal cepat sampai, melainkan tentang menikmati setiap tikungan. Jeep ini melaju pelan di jalur menanjak, seolah menghormati gunung yang telah lebih dulu mengajarkanku arti kesabaran.

Di kota, orang sering memaknai kendaraan sebagai lambang keberhasilan. Semakin mewah, semakin dianggap berhasil. Tetapi di Gunung Karang, semua ukuran itu runtuh. Yang penting hanyalah kemampuan bertahan, baik manusia maupun mesin. Jeep made in USA ini tidak terlihat mencolok, namun justru terasa tepat—seperti aku yang kembali ke asal tanpa perlu membuktikan apa pun.

Aku sering berhenti di satu titik, tempat pandangan terbuka ke lembah. Dari sana, kampungku terlihat kecil, tetapi penuh makna. Gunung Karang mengajarkanku bahwa kenangan tidak pernah benar-benar pergi; ia hanya menunggu kita pulang dengan cara yang jujur.

Jeep ini menjadi penghubung antara masa lalu dan hari ini. Ia membawaku kembali ke jalan tanah yang membesarkanku, sekaligus mengingatkanku agar tidak larut dalam gaya hidup modern yang gemar melupakan asal. Di hadapan gunung, segala pencitraan terasa sia-sia.

Gunung Karang di Pandeglang memang menyimpan seribu kenangan. Dan setiap kali rodaku menyentuh jalannya, aku tahu: aku tidak sedang sekadar berkendara, aku sedang pulang—kepada kampung, kepada ingatan, dan kepada diriku sendiri.(*)

Leave a comment