Aku belajar bahwa kehilangan tidak selalu berbentuk air mata; kadang ia hadir sebagai diam yang panjang.

Oleh : M. Harry Mulya Zein, tinggal di Tangerang- Indonesia

M. Harry Mulya Zein dan ibunya

Sejak ayahku wafat, rumah kami tak lagi sama. Dinding-dindingnya tetap berdiri, perabotannya tak banyak berubah, tetapi ada sesuatu yang perlahan menghilang: suara. Suara langkah ayah di pagi hari, suara batuk kecilnya di malam sunyi, dan percakapan pelan yang biasa ia lakukan dengan Ibu menjelang tidur.

Setelah itu, Ibu tidak lagi tinggal di rumah kami. Ia memilih menetap di rumah adik perempuanku. Keputusan itu terdengar sederhana, nyaris praktis, tetapi bagiku terasa seperti satu bab kehidupan yang benar-benar ditutup. Rumah lama tetap ada, namun Ibu—jiwanya—tidak lagi di sana.

Ibu menjalani hari-harinya dengan tenang, seperti biasa. Ia tidak banyak mengeluh, tidak pula larut dalam kesedihan yang dipamerkan. Namun aku tahu, kesepian itu tinggal bersamanya. Ada duka yang ia simpan rapi, seperti kebiasaannya menyimpan segala sesuatu—tak ingin merepotkan siapa pun, bahkan anak-anaknya sendiri.

Di rumah adik perempuanku, Ibu menjadi sosok yang lebih banyak duduk. Ia sering termenung di dekat jendela, memandang halaman seolah mencari sesuatu yang tertinggal. Kadang-kadang ia bercerita tentang ayah, kadang hanya tersenyum tanpa kata. Aku belajar bahwa kehilangan tidak selalu berbentuk air mata; kadang ia hadir sebagai diam yang panjang.

Hubunganku dengan Ibu justru terasa semakin dalam sejak itu. Setiap kali berkunjung, aku memperhatikan hal-hal kecil: cara ia melipat mukena, caranya menyeduh teh, atau kebiasaan menyebut nama ayah tanpa sadar. Dari situ aku paham, cinta sejati tidak pernah benar-benar pergi—ia hanya berubah bentuk.

Ibu tetap menjadi pusat hidupku, meski kini ia tinggal di rumah yang bukan miliknya sendiri. Nilai-nilai yang ia tanamkan tetap hidup: kesabaran, kesederhanaan, dan penerimaan. Ia mengajarkanku bahwa hidup tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang merelakan tanpa kehilangan makna.

Kadang aku merasa bersalah karena tidak bisa selalu menemani. Namun Ibu selalu berkata, “Ibu baik-baik saja.” Kalimat itu terdengar menenangkan, meski aku tahu, di baliknya ada kerinduan yang tak terucap—kepada ayah, kepada rumah lama, kepada masa yang tak mungkin kembali.

Kini aku mengerti, pengaruh terbesar Ibu dalam hidupku bukan hanya pada saat ia aktif membimbing, tetapi justru ketika ia diam menjalani takdirnya. Dari ketegarannya sebagai seorang janda, aku belajar arti kekuatan yang sesungguhnya: bertahan tanpa mengeras, dan menerima tanpa menyerah.

Ibu mungkin tinggal di rumah adik perempuanku, tetapi dalam hidupku, ia tetap tinggal di tempat yang paling awal dan paling dalam—di hati, tempat segala arah hidupku bermula.(*)

Leave a comment