Ketika tulisanku ditolak di mana-mana dan kepercayaan diriku runtuh, dialah orang pertama yang membacanya ulang. Ia tak memuji berlebihan, tapi juga tak membiarkanku tenggelam.


Oleh : M. Harry Mulya Zein, tinggal di Tangerang- Indonesia

M. Harry Mulya Zein

AKU selalu percaya bahwa hidup tak pernah benar-benar kejam bila kita masih dipertemukan dengan manusia baik.

Keyakinan itu tumbuh pelan-pelan sejak aku mengenal sahabatku—seorang jurnalis senior yang lebih sering berjalan di balik layar peristiwa, tetapi selalu hadir di garis depan ketika aku terjatuh.

Kami bertemu pertama kali di ruangan Kantor Pemerintah Kota Administratif Tangerang Tahun 1990, ketika itu jabatanku adalah Kepala Sub. Bagian Kesra. Ia mewawancari diriku di sudut ruangan, mencatat tanpa banyak bicara. Gayanya yang sopan dan profesional dengan menampilkan sosok persahabatan, dan tampilan yang sederhana, dan tasnya tampak lebih berat oleh buku catatan.

Ketika aku berbicara dengan gugup, ia menatapku penuh perhatian, seolah setiap kata yang keluar dari mulutku layak disimpan.

Sejak hari itu, ia tak pernah memanggilku dengan jabatan atau gelar. “Menulis itu soal kejujuran,” katanya suatu sore di warung kopi. “Kalau kau jujur pada pikiranmu sendiri, orang lain akan merasakannya.” Kalimat itu terus terngiang, terutama saat hidupku mulai berantakan.

Ketika tulisanku ditolak di mana-mana dan kepercayaan diriku runtuh, dialah orang pertama yang membacanya ulang. Ia tak memuji berlebihan, tapi juga tak membiarkanku tenggelam. Ia menandai kalimat yang lemah, menggarisbawahi ide yang belum matang, lalu menutupnya dengan senyum tipis. “Kau lelah, bukan gagal,” ucapnya pelan.

Pernah suatu ketika aku benar-benar kehabisan arah—pekerjaan goyah, masalah keluarga datang bertubi-tubi. Aku meneleponnya larut malam, dengan suara nyaris patah. Ia tak banyak bertanya. Esok paginya, ia datang membawa sarapan sederhana dan selembar kertas kosong. “Tulis semua yang membuatmu sesak,” katanya. “Jurnalis belajar bertahan dengan menulis, dan manusia bertahan dengan didengarkan.”

Ia tak pernah memberiku uang, jabatan, atau janji-janji besar. Bantuan yang ia berikan selalu berbentuk kehadiran: mendengarkan tanpa menghakimi, menuntun tanpa menggurui. Dari dirinya aku belajar bahwa empati adalah kerja sunyi yang tak butuh sorotan.

Kini, ketika hidupku mulai menemukan ritmenya kembali, ia tetap sama—datang dan pergi tanpa banyak suara. Tulisannya mungkin tak lagi sering menghiasi halaman depan, tetapi jejak kebaikannya hidup dalam banyak orang, termasuk aku.

Jika suatu hari namanya tak lagi disebut, aku tahu satu hal: di balik setiap langkah tegap yang kuambil hari ini, ada sahabatku—seorang jurnalis senior—yang pernah menyalakan lampu kecil ketika hidupku berada dalam gelap.(*)

Leave a comment