Setiap kali membaca berita atau membuka lembaran sejarah, Yerusalem selalu hadir sebagai kota yang lelah namun tabah.

Oleh : Dr. M. Harry Mulya Zein, tinggal di Kota Tangerang- Indonesia

Yerusalem

Keinginan itu datang tanpa pengumuman, seperti doa yang tiba-tiba terucap di sela-sela sujud. Aku ingin mengunjungi Yerusalem. Ingin menjejakkan kaki di kota tua yang namanya sering kusebut dalam doa, dan berdiri tenang di pelataran Masjid Al-Aqsa—tempat para nabi pernah bersujud, tempat langit seolah lebih dekat dengan bumi.

Setiap kali membaca berita atau membuka lembaran sejarah, Yerusalem selalu hadir sebagai kota yang lelah namun tabah. Batu-batu tuanya menyimpan jejak ribuan tahun, sementara luka-luka zaman belum sepenuhnya sembuh. Aku membayangkan diriku berjalan pelan menyusuri gang-gang sempit Kota Tua, dinding batu kapur di kiri-kanan, dan langkah kakiku berpadu dengan langkah para peziarah dari berbagai penjuru dunia.

Masjid Al-Aqsa berdiri dalam bayang imajinasiku bukan sekadar bangunan, melainkan panggilan. Kubayangkan pagi yang hening, cahaya matahari menyapu kubah-kubah, dan angin lembut membawa aroma sejarah. Di sana, aku ingin shalat dengan khusyuk, memanjatkan doa bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk kedamaian yang terasa jauh namun selalu diharapkan. Aku ingin berlama-lama duduk, memandang halaman luasnya, membiarkan hatiku tenang—seolah waktu berhenti sejenak.

Keinginan itu sering kutitipkan pada malam. Dalam sunyi, aku bertanya pada diri sendiri: mengapa Yerusalem? Mungkin karena kota itu mengajarkanku tentang kesabaran. Tentang iman yang diuji, tentang harapan yang tak boleh padam meski berkali-kali terluka. Yerusalem mengingatkanku bahwa perjalanan spiritual tak selalu mudah, namun selalu bermakna.

Aku tahu, keinginan ini belum tentu segera terwujud. Ada jarak, ada keadaan, ada takdir yang belum terbuka. Namun aku percaya, setiap niat baik memiliki jalannya sendiri. Sementara menunggu, aku merawat rindu itu dengan doa dan bacaan, seolah setiap kata adalah langkah kecil mendekati kota suci itu.

Suatu hari nanti—aku meyakinkan diriku—aku akan berdiri di Masjid Al-Aqsa. Menundukkan kepala, mengucap syukur, dan berkata pelan dalam hati: akhirnya aku tiba. Hingga saat itu datang, Yerusalem tetap hidup dalam imajinasiku, menjadi tujuan yang menuntunku untuk terus berharap, terus berdoa, dan terus menjaga kemanusiaan dalam diri.(*)

Leave a comment