Saling menyapa saja, sudah cukup, sambil memberi tatapan mata, serta senyum.

Diceritakan oleh: Mohammad Nasir, tinggal di Tangerang- Indonesia.
+++
Dulu saya berharap ketika bertemu orang-orang yang pernah saya kenal, idealnya terjalin komunikasi saling menyapa. “Hai, apa kabar?”.
Atau kawan-kawan muslim menyapa dengan “Assalamu alaikum”, lalu berjabat tangan sambil merasakan sentuhan garis-garis telapak tangan.
Saling menyapa seperti itu saja, sudah cukup, sambil memberi tatapan mata, serta senyum. Kalau ada waktu agak lama, baru lah berbincang-bincang ringan (small talk).
Tetapi saya tidak berharap banyak supaya tidak merasa kecewa. Saya tahu hidup ini banyak urusan, seperti bekerja, memikirkan keluarga, organisasi kantor, organisasi di luar kantor, teman-teman, dan tetangga. Semua sepertinya perlu diperhatikan.
Tidak mungkin semua orang harus diingat. Saya sadar, jangan- jangan saya juga termasuk orang yang tidak diingat. Tidak apa-apa.
Seperti perjumpaan yang saya rasakan di mesjid Al-Ittihad, di jantung kota Tangerang. Sekitar 35 tahun lalu, kalau saya sholat jumat di mesjid itu, banyak yang kenal, saling menyapa dan berjabat tangan.
Tapi sejak dua tahun lalu, di mesjid yang sama, saya sholat jumat tidak kenal dan tidak dikenal oleh orang seorang pun.
Sebenarnya saya masih berharap adanya rasa kehangatan saling sapa seperti dulu. Untuk mewujudkan harapanku, ketika selesai sholat jumat, saya duduk di dekat pintu keluar mesjid dengan harapan ada yang kenal dan mengakatan “Assalamu alaikum, apa kabar?”.
Tetapi sampai semua jamaah pulang, keluar mesjid, tidak ada satu pun yang saya kenal. Saya berpikir positif, mungkin orang-orang yang saya kenal dulu sudah pindah jauh dari mesjid ini. Mobilitas orang di kota cukup tinggi.
Kalau seandainya saya melihat orang yang saya kenal, saya pasti berusaha mendekat, dan menyapa. Kalau pun mereka lupa, tidak apa-apa.
Tetapi di banyak tempat sering juga ada orang yang mendekati saya, sambil berkata “Masih ingat saya?”.
Tentu saya bilang “Oh ya masih” walaupun saya berusaha keras mengingat-ingat siapa orang itu, bertemu dimana dan kapan.
Bisa jadi di mata orang lain, saya juga dilupakan seperti itu. Apalagi dalam perputaran pergaulan dan perjumpaan dengan banyak orang sangat tinggi.
Jadi saya tidak mengharuskan orang mengingat saya. Sebab itu saya berperasaan netral saja ketika ada pertemuan di sebuah pesta pernikahan atau seminar. Tidak perlu kecewa terhadap orang lain yang lupa dengan saya. Itu biasa.
Kalau ada yang masih ingat, dan kemudian menyapa, itu saja sudah senang. Apalagi diiringi senyum.
“Hai, apa kabar?” kata singkat ini saja sudah cukup merekahkan senyum saya. Ternyata masih ada yang kenal saya.
Leave a comment