Bu’de, perempuan Jawa yang lembut, sederhana, dan selalu menunduk ketika berbicara
Oleh : M. Harry Mulya Zein, tinggal di Tangerang- Indonesia
+++
Di rumahku yang sederhana, ada satu sosok yang selalu membuatku berhenti sejenak untuk memikirkan arti kejujuran. Sosok itu bukan orang berpendidikan tinggi, bukan pula seseorang yang gemar berceramah tentang moral. Ia adalah pembantu rumah tanggaku — Bu’de, perempuan Jawa yang lembut, sederhana, dan selalu menunduk ketika berbicara.

Bu’de sudah hampir dua tahun tinggal dan bekerja di rumahku. Awalnya, kami mengenalnya sebagai perempuan pendiam yang cekatan dalam pekerjaan. Namun seiring waktu, aku menyadari ada satu hal yang jauh lebih istimewa dari dirinya: kejujurannya yang tak pernah berubah, kapan pun dan dalam situasi apa pun.
Suatu pagi, aku kehilangan uang lima puluh ribu yang kusimpan di meja kerja. Aku sempat panik, memastikan tidak terjatuh, tertiup angin, atau terselip entah ke mana. Ketika aku hampir menyerah, Bu’de datang sambil memegang uang yang sudah terlipat rapi.
“Pak… maaf, ini milik panjenengan? Tadi Bu’de nemu di bawah kursi. Mungkin ketlisut waktu njenengan kerja,” katanya pelan sambil menunduk.
Aku tertegun. Banyak orang mungkin akan membiarkan uang kecil itu tanpa kembali, tetapi bagi Bu’de, bukan soal besar kecilnya. Jika itu bukan haknya, ia tak akan mengambilnya.
Kejujurannya tidak berhenti di situ. Sore hari, setelah tamu keluargaku pulang, Bu’de menemukan anting kecil tergeletak di ruang tamu. Tanpa menunggu, ia langsung mendatangiku.
“Pak, ini anting-e tamu tadi. Bu’de simpenke dulu, kalau mereka balik bisa dikembalikan.”
Sikapnya sederhana, tapi membuatku percaya bahwa kebaikan masih hidup di tengah kesibukan dunia.
Yang paling membekas bagiku adalah ketika istriku memberikan bonus menjelang hari besar. Bu’de menerimanya dengan senang, tapi kemudian datang kembali membawa sebagian uang yang dikembalikan.
“Bu… ini kebanyakan. Bu’de nampi sing biasa wae. Sing penting rezeki halal, nggih?” katanya sambil tersenyum rendah hati.
Aku dan istriku saling berpandangan. Bu’de, perempuan desa dengan hidup yang sederhana, justru mengajariku tentang integritas tanpa satu pun kata nasihat.
Setiap malam, ketika rumah sudah tenang dan Bu’de beristirahat di kamarnya, aku kadang memikirkan bagaimana sosok sepertinya bisa membawa nilai besar dalam hidupku. Ia tidak pernah membaca buku etika, tidak pernah ikut pelatihan tentang kejujuran, tetapi hidupnya adalah contoh nyata dari sifat itu.
Dari Bu’de aku belajar bahwa kejujuran bukan soal pendidikan tinggi atau jabatan besar. Kejujuran adalah pilihan kecil yang diulang setiap hari — mengembalikan uang, menjaga barang yang bukan milik sendiri, menolak rezeki yang dianggap terlalu berlebihan.
Kini aku menyadari, mengagumi seseorang tidak harus selalu karena kesuksesannya. Kadang, kekaguman justru lahir dari sosok sederhana yang mengajarkan nilai kehidupan secara diam-diam.
Dan aku, dengan tulus, sangat mengagumi Bu’de dari Jawa, pembantu rumah tanggaku. Ia menunjukkan bahwa dalam keseharian yang paling sederhana, kejujuran tetap menjadi cahaya yang tidak pernah padam.
Dari Bu’de, aku kembali belajar menjadi manusia yang lebih baik.(*)
Leave a comment