Ternyata perubahan itu bukan soal menahan lapar, tetapi soal menghargai tubuhku sendiri.


Oleh : Dr. M. Harry Mulya Zein, tinggal di Tangerang- Indonesia

M. Harry Mulya Zein

Setiap malam, pukul sebelas lewat sedikit, dapur kecil di rumahku selalu menjadi tempat paling ramai. Bukan karena ada tamu, bukan pula karena ada acara keluarga—melainkan karena aku sendiri, dengan mata setengah mengantuk tapi perut seperti punya agenda berbeda.

Aroma mi instan, sisa ayam goreng di kulkas, atau bahkan roti tawar pun terasa seperti panggilan suci yang tak boleh diabaikan.

Mie instan

Dan aku, sebagai manusia biasa yang lemah imannya terhadap godaan makanan, sering menyerah.

Namun suatu pagi, setelah malam panjang penuh camilan yang tak terjadwal, tubuhku memberontak. Perut terasa tak nyaman, kepala sedikit pusing, dan aku melihat wajahku di cermin seperti baru kalah dari pertandingan tinju melawan makanan. Saat itu aku bergumam, “Sepertinya sudah waktunya berubah.”

Hari-hari berikutnya menjadi fase perjuangan. Malam pertama aku mencoba tidur lebih cepat, tapi di tengah keheningan aku mendengar suara halus dari dapur: “Kami masih ada di sini…” seolah-olah isi kulkas memanggil namaku. Aku menutup telinga dengan bantal, pura-pura tak mendengar.

Malam kedua, strategi berubah. Aku membuat segelas air hangat sebelum tidur. Kata orang, air hangat bisa menenangkan dan menahan keinginan untuk ngemil. Tapi begitu air itu habis, imajinasi tentang pisang goreng muncul tanpa izin. Aku duduk tegak dan berkata dalam hati, “Tidak! Aku harus disiplin!”

Malam ketiga, aku mulai menemukan kekuatanku. Bukan karena keinginan makan hilang—tidak sama sekali—tapi karena aku mulai mengingat alasan mengapa aku harus berhenti makan larut malam. Aku ingin tubuh yang lebih sehat, tidur lebih nyenyak, dan paginya terasa lebih segar. Aku ingin bangun tanpa rasa sesak di perut atau penyesalan yang biasanya datang setelahnya.

Ternyata perubahan itu bukan soal menahan lapar, tetapi soal menghargai tubuhku sendiri.

Seminggu kemudian, aku merasa berbeda. Nafasku lebih ringan, tidurku lebih tenang, dan yang paling penting: aku tidak lagi merasa “dikejar-kejar” kebiasaan makan di malam hari. Sesekali masih ada godaan, tapi aku sudah punya kendali.

Dan pada suatu malam, ketika aku lewat di depan dapur yang gelap, aku tersenyum kecil. Tidak ada lagi suara yang memanggil. Atau mungkin masih ada, tapi kini aku sudah bisa berkata pelan,
“Maaf ya… aku sedang menjaga kesehatanku.”

Sejak itu, aku tahu satu hal: perubahan kecil yang dilakukan dengan kesadaran bisa menjadi kemenangan besar bagi diri sendiri. Dan aku bangga—akhirnya aku menang melawan diriku sendiri, satu camilan larut malam pada satu waktu. (*)

Leave a comment