Oleh: Dr. M. Harry Mulya Zein
- Pakar Ilmu Pemerintahan
- Dosen Vokasi Ilmu Administrasi Pemerintahan Universitas Indonesia, dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

SELAMA satu tahun terakhir, hidupku seolah bertumpu pada tiga poros yang tak pernah berhenti berputar: mengajar, berdiskusi, dan menulis. Tiga kegiatan itu seperti tiga sahabat lama yang saling menuntut perhatian, namun sekaligus memberi energi yang tak ada habisnya.
Pagi-pagiku biasanya dimulai dengan helaan napas panjang di depan kelas Vokasi Administrasi Universitas Indonesia, di Kampus UI Depok. Bau spidol, layar proyektor yang baru menyala, dan suara mahasiswa/i yang saling bercanda menyambutku setiap kali aku masuk.
Mengajar mereka bukan sekadar menyampaikan teori administrasi, tetapi mengajak mereka melihat dunia dari sudut pandang profesional yang lebih luas. Mahasiswa/i vokasi memiliki semangat berbeda—lebih praktis, lebih cepat tanggap, dan lebih berani mengajukan pertanyaan tajam.
“Pak, kalau aturan birokrasi terlalu kaku, bagaimana organisasi bisa tetap inovatif?” tanya seorang mahasiswa perempuan suatu pagi.
Aku tersenyum. “Justru di situlah seni administrasi: menyeimbangkan kepastian aturan dengan keluwesan berpikir.”
Setiap tatapan antusias mereka membuatku terus memperbarui diri. Aku belajar lagi, membaca lagi, menelusuri kebijakan terbaru agar tidak tertinggal dari rasa ingin tahu mereka yang begitu hidup.
Sore harinya, ruang kerjaku berubah menjadi tempat diskusi. Ada mahasiswa/i yang datang untuk konsultasi tugas, ada pula yang ingin memperdalam isu publik yang sedang ramai diperbincangkan. Diskusi itu mengalir seperti sungai—kadang tenang, kadang deras, kadang memanas, tetapi selalu berakhir dengan wajah yang puas karena memahami sesuatu dengan lebih jelas.
“Pak, menurut Bapak, mengapa pelayanan publik kita belum sepenuhnya ramah terhadap masyarakat rentan?” tanya seorang mahasiswa laki-laki saat diskusi kelompok kecil.
Aku menatapnya sambil mengaduk kopi. “Karena kita sering lupa mendesain layanan dengan perspektif mereka. Administrasi yang baik harus dimulai dari empati.”
Diskusi itu berlanjut hingga langit berubah jingga.
Malam hari adalah waktuku paling pribadi. Setelah seharian mengajar dan berdiskusi, aku duduk di depan laptop, menatap halaman kosong yang menunggu ditulisi. Menulis artikel untuk media online sudah seperti ritual harian. Apa yang kudapat dari kelas, apa yang kutangkap dari diskusi mahasiswa, semuanya mengendap dan mencari bentuknya sendiri di dalam tulisan.
Beberapa artikelku sempat ramai dibagikan. Ada yang memuji, ada yang mengkritik, tetapi semuanya kubaca dengan hati terbuka. Bagiku, menulis adalah cara terbaik untuk meninggalkan catatan pemikiran, jejak kecil yang mungkin berguna bagi orang lain.
Suatu malam, setelah tulisanku mengenai pentingnya distribusi bantuan bencana yang lebih manusiawi dipublikasikan, sebuah pesan masuk dari pembaca:
“Terima kasih, Pak. Tulisan Bapak membuat saya melihat ulang kebijakan yang saya kerjakan.”
Pesan itu sederhana, tetapi cukup untuk membuatku tersenyum puas.
Setahun berlalu tanpa terasa. Ketika kuingat kembali, ada begitu banyak detik yang tak dapat diukur dengan angka. Menjelang akhir tahun, aku duduk di sudut ruang kerja, menatap kalender yang tinggal beberapa lembar.
“Apa yang sebenarnya saya lakukan selama setahun ini?” gumamku.
Jawabannya mengalir pelan-pelan: aku mengajar mahasiswa/i vokasi untuk masa depan mereka, berdiskusi untuk memahami dunia bersama-sama, dan menulis untuk meninggalkan jejak pemikiran yang mungkin berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Dan ketika tahun berganti, aku sadar satu hal: ketiga poros itu bukan hanya kegiatan rutinku—mereka adalah bagian dari siapa diriku.
Selama satu tahun, aku hidup dengan penuh makna.
Dan mungkin, itu sudah lebih dari cukup. (*)
“Pak, kalau aturan birokrasi terlalu kaku, bagaimana organisasi bisa tetap inovatif?” tanya seorang mahasiswa perempuan suatu pagi.
Leave a comment