Aku pulang dalam suasana gelap. Dalam perjalanan pulang itu, sering aku bertanya dalam hati: apakah hidup seperti ini akan terus kutapaki? Apakah aku ditakdirkan untuk menjemput gelap dan mengantar gelap pulang?
Oleh : M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan, tinggal di Tangerang- Indonesia

AKU selalu menyebut diriku manusia malam. Bukan karena aku senang bersembunyi dalam gelap, tetapi karena ritme hidupku memang digenggam oleh malam itu sendiri.
Setiap hari, selepas subuh, ketika jarum jam baru menunjuk pukul 4.00 pagi, aku sudah bersiap. Suara azan baru saja mereda, dan udara masih penuh embun yang menggantung di daun-daun halaman rumahku. Lampu teras masih menyala, menebarkan cahaya kuning yang lembut, sementara bayanganku memanjang di atas paving yang dingin.
Seperti biasa, aku pergi dalam suasana gelap.
Jalanan masih sepi. Hanya beberapa pedagang sayur yang mulai menata dagangan dan petugas kebersihan yang setia mendorong gerobak. Aku melangkah melewati mereka, merasa seperti seorang pengembara yang memulai perjalanan lebih awal dari semua orang.
Di kantor, hari seperti berputar lebih cepat dari seharusnya. Laporan datang bertubi-tubi, rapat berdatangan tanpa jeda, dan layar komputer terasa seperti jendela yang tak pernah benar-benar padam. Kadang aku lupa jam makan siang, kadang aku lupa bahwa langit di luar sudah berganti warna dua atau tiga kali.
Dan ketika akhirnya pekerjaan selesai, aku melangkah keluar gedung. Matahari sudah lama tenggelam. Langit kembali hitam, dan lampu-lampu kendaraan menari di jalanan seperti untaian cahaya yang tak pernah beristirahat.
Aku pulang dalam suasana gelap. Dalam perjalanan pulang itu, sering aku bertanya dalam hati: apakah hidup seperti ini akan terus kutapaki? Apakah aku ditakdirkan untuk menjemput gelap dan mengantar gelap pulang?
Namun ada sesuatu yang membuat langkah itu tetap terasa hangat—bayangan rumah yang menunggu, senyum keluarga yang menghapus letih, serta secangkir teh hangat yang biasanya sudah tersaji di meja.
Setibanya di rumah, aku duduk, melepas sepatu dengan perlahan, dan menarik napas panjang. Gelap yang tadinya begitu menekan, kini berubah menjadi selimut yang menenangkan.
Dan aku sadar: menjadi manusia malam bukanlah beban. Ini hanyalah ritme yang harus kujalani, bagian dari tanggung jawab dan perjalanan hidupku.
Selama selalu ada cahaya kecil yang menuntunku pulang—meski hanya secercah di balik pintu rumah—aku tak keberatan pergi gelap dan pulang gelap. Karena justru di balik gelap itulah, aku menemukan diriku sendiri. (**)