Satu gigitan pertama membuat saya hampir lupa semua kekhawatiran. Gurihnya meresap, lembutnya daging terasa sempurna. Namun baru saja aku tersenyum, pikiran lain datang mengganggu.
Oleh : M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan, tinggal di Tangerang, Indonesia

Aroma sate kambing bakar itu menyelinap halus di antara meja-meja warung samping Masjid, pinggir jalan cikokol. Asapnya mengepul pelan, seolah melambaikan tangan memanggilku untuk segera duduk dan memesan seporsi. Perutku langsung berbunyi, seperti ikut bersorak: “Ayo, sudah lama kamu tidak makan sate!”
Aku pun duduk, memesan satu porsi sate kambing muda, lengkap dengan irisan bawang merah dan cabai rawit, kecap Benteng yang hanya ada di Kota Tangerang. Namun begitu piring itu datang—dengan daging yang masih berkilau oleh lelehan lemak—perasaanku mendadak kacau.
Ada desir was-was yang membuatku menelan ludah.
Aku memandangi sate itu seperti memandangi sahabat lama yang penuh kenangan, tetapi juga penuh risiko. “Aduh… kalau aku makan ini, jangan-jangan ambeyenku kambuh lagi…” gumamku dalam hati.
Beberapa hari terakhir aku memang merasa lebih baik. Tidak ada rasa ngilu, tidak ada duduk-serba-salah yang membuatku harus miring kanan kiri. Dan kini, di depan hidangan yang begitu menggoda, rasa takut itu muncul seperti bayangan yang enggan pergi.
Aku mengambil tusuk pertama, memerhatikan dagingnya yang empuk. Lalu aku menghela napas panjang, setengah ingin, setengah ragu.
“Bismillah… semoga aman,” bisikku pada diri sendiri.
Satu gigitan pertama membuat saya hampir lupa semua kekhawatiran. Gurihnya meresap, lembutnya daging terasa sempurna. Namun baru saja aku tersenyum, pikiran lain datang mengganggu.
Nanti malam bagaimana kalau terasa panas? Bagaimana kalau besok pagi duduk di kursi jadi penderitaan? Bagaimana kalau…
Aku berhenti mengunyah sejenak.
Di meja sebelah, seorang bapak paruh baya melirik dan tersenyum. “Nikmati saja, Mas. Hidup ini penuh risiko, tapi kalau terlalu takut, nanti malah nggak pernah bahagia.”
Aku tertawa kecil. Ucapannya seperti menampar pelan kegelisahanku.
Akhirnya, aku lanjut makan, tapi dengan irama lebih pelan. Setiap tusuk sate seperti dialog antara rasa nikmat dan rasa cemas. Kadang aku tersenyum karena lezat, kadang aku menggigit bibir karena ingat kemungkinan buruk.
Ketika porsi itu habis, aku bersandar di kursi. Ada perasaan lega, ada juga sedikit deg-degan. Tapi paling tidak aku puas—aku menikmati setiap suapan.
Dalam perjalanan pulang, angin malam menyentuh wajahku dengan lembut. Aku tersenyum sendiri.
“Kalau nanti terasa sedikit tidak nyaman, ya sudah,” pikirku. “Itu harga yang wajar untuk sebuah kenikmatan kecil dalam hidup.”
Toh, hidup memang selalu begitu: memilih, menikmati, lalu menerima konsekuensinya dengan lapang dada.
Dan malam itu, untuk sejenak, aku merasa menang—atas rasa takutku sendiri. (**)