Dr. M. Harry Mulya Zein
- Pakar Ilmu Pemerintahan.
- Dewan Pakar Ilmu Pemerintahan pada Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat.
- Dosen Vokasi Ilmu Administrasi Pemerintahan Universitas Indonesia, dan Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri.

Perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan maupun ruang digital kian menjadi persoalan serius yang menimbulkan dampak psikologis, sosial, dan akademik bagi korban.
Pemerintah dituntut hadir melalui kebijakan yang lebih komprehensif, terukur, dan berkelanjutan. Penanganan perundungan tidak dapat hanya mengandalkan sekolah atau keluarga, tetapi membutuhkan pendekatan ekosistem yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan anak dan pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Sistem Pendidikan Nasional, hingga Peraturan Mendikdasmen tentang Pencegahan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sudah menjadi fondasi.
Namun, implementasinya masih lemah. Diperlukan aturan turunan yang lebih operasional, termasuk standar penanganan kasus, mekanisme pelaporan, serta perlindungan bagi pelapor (whistleblower).
Strategi kunci adalah pembentukan Satgas Anti-Kekerasan di setiap sekolah yang terdiri dari guru, psikolog/ konselor sekolah, perwakilan orang tua, dan unsur masyarakat.
Satgas berfungsi melakukan pencegahan melalui edukasi berkala, menangani kasus secara cepat, serta memonitor dinamika sosial siswa. Pemerintah daerah perlu memastikan satgas berjalan, tidak hanya ada di atas kertas.
Banyak kasus perundungan tidak terdeteksi karena guru belum dibekali kemampuan identifikasi dini atau intervensi psikososial. Pemerintah harus memastikan pelatihan wajib bagi seluruh guru terkait manajemen kelas positif, pendekatan restoratif, dan teknik penyelesaian konflik.
Integrasi materi anti-perundungan dalam program Pendidikan Profesi Guru juga penting untuk kesinambungan.
Kebijakan anti-perundungan tidak akan efektif tanpa dukungan keluarga. Pemerintah dapat menjalankan program pendidikan parenting melalui sekolah, puskesmas, maupun kanal digital. Fokus edukasi antara lain pola asuh positif, identifikasi perubahan perilaku anak, literasi digital, serta pentingnya komunikasi terbuka antara anak dan orang tua.
Ketersediaan konselor sekolah masih minim. Pemerintah perlu memperluas program layanan psikologis berbasis sekolah, termasuk menyediakan tenaga konselor tetap, hotline pengaduan, serta kerja sama dengan psikolog profesional di puskesmas atau dinas sosial. Penanganan korban dan pelaku harus mengedepankan pendekatan rehabilitatif, bukan sekadar hukuman.
Perundungan kini meluas ke dunia maya (cyberbullying). Pemerintah melalui Komdigi dapat memperluas sistem pemantauan konten bermuatan kekerasan, memperkuat literasi digital bagi pelajar, serta bekerja sama dengan platform media sosial untuk menangani laporan lebih cepat. Edukasi etika digital perlu dimasukkan dalam kurikulum.
Berbagai studi menunjukkan bahwa pendekatan restoratif—dialog antara pelaku, korban, dan keluarga—lebih efektif dalam jangka panjang dibanding sekadar sanksi. Pemerintah perlu mendorong penyelesaian kasus berbasis mediasi yang berfokus pada pemulihan hubungan sosial, pertanggungjawaban pelaku, dan keselamatan korban.
Untuk meminimalkan kasus yang tidak dilaporkan, pemerintah dapat mengembangkan platform pelaporan nasional terpadu yang mudah diakses, menjamin kerahasiaan, dan terhubung langsung dengan satuan pendidikan, dinas pendidikan, dan aparat hukum. Hal ini penting agar setiap laporan memiliki tindak lanjut dan evaluasi berkala.
Dengan demikian penanganan perundungan membutuhkan ketegasan negara dan partisipasi kolektif masyarakat. Kebijakan yang kuat harus diimbangi komitmen implementasi di lapangan, dukungan anggaran, serta pengawasan publik.
Dengan pendekatan komprehensif—mulai dari regulasi, edukasi, layanan psikologis, hingga kolaborasi lintas sektor—Indonesia dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan bagi seluruh anak. (**)