Ada sesuatu yang hilang dengan berkembangnya teknologi rekayasa genitika. Kami ingin kehidupan yang alami
Oleh : M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan, tinggal di Tangerang, Indonesia


Aku berdiri di halaman muka rumahku, memandangi kebun kecil yang tumbuh rapi di sana. Kebun itu bukan hasil tanganku, melainkan karya istriku—seorang sarjana pertanian lulusan Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Setiap pagi sebelum matahari naik tinggi, ia sudah berada di antara tanaman-tanaman itu, memeriksa daun, menyiram tanah, dan sesekali berbicara pelan seolah tanaman itu mengerti bahasanya.
Di halaman itulah tumbuh cabai merah, tomat, bayam, daun kelor, hingga beberapa tanaman rempah. Hiasan alam yang hidup, sederhana namun penuh makna. Aku selalu betah berdiri di dekatnya, merasa seolah rumahku memulai hari dengan senyuman hijau yang segar.
Dunia di luar sana penuh dengan makanan serba modern: hasil rekayasa genetik, buah-buahan yang warnanya terlalu cerah, daging buatan yang lahir dari laboratorium. Banyak orang memujinya sebagai kemajuan. Tapi bagiku, ada sesuatu yang hilang—kehangatan, kealamian, dan hubungan yang jujur antara manusia dan tanah akibat rekayasa genitika.

Mestinya teknologi rekayasa genitika, tidak dilanjutkan, karena menghasilkan pangan yang tidak alami. Tidak apa adanya, dari alam.
“Ini panen pagi ini,” kata istriku suatu hari sambil membawa keranjang kecil berisi tomat kemerahan dan beberapa lembar daun kelor.
Wajahnya berseri, seperti ia membawa hadiah dari alam. Aku menerimanya dengan rasa bangga yang tak bisa kusembunyikan. Bukan hanya bangga pada panennya, tapi pada istriku yang begitu mencintai setiap prosesnya.
Malam itu, kami makan sayur bening dari hasil kebun halaman depan rumah. Rasa tomatnya lebih segar, daun kelornya lebih harum, dan semuanya terasa alami—tidak ada yang dipaksa untuk menjadi sempurna. Aku menghirup aromanya dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Aku memang lebih suka makanan alami,” kataku pelan. Istriku menoleh, tersenyum tipis, seolah ia sudah mendengar jawabanku jauh sebelum aku mengucapkannya.
Keesokan paginya, ketika aku hendak pergi, kulihat ia kembali merawat tanamannya. Cahaya matahari menimpa wajahnya, dan di sekelilingnya tanaman-tanaman itu tampak tumbuh dengan bahagia.
Di halaman muka rumahku yang sederhana itulah, aku menemukan alasan untuk tetap dekat dengan alam. Di sana, aku belajar bahwa makanan bukan hanya soal kenyang—tetapi tentang kehidupan, ketulusan, dan cinta yang tumbuh perlahan dari tanah yang sama.(*)
One response
harga cabe pagi edun
LikeLiked by 1 person