Semua masuk dalam kreteriaku. Tatapi aku harus memilih salah satu, walaupun memilih salah satu bermakna menolak yang lain. Berat hatiku
Oleh : M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan, kini bersama istri hasil pilihannya, tinggal di Tangerang- Indonesia

Tahun 1990 adalah masa ketika hidup berjalan lebih pelan. Kota tak seramai sekarang, dan berita penting masih datang lewat koran pagi. Pada tahun itulah aku dihadapkan pada keputusan terbesar dalam hidup: memilih pasangan hidup.
Malam itu aku duduk di teras rumah orang tuaku, ditemani secangkir teh hangat. Semilir angin membawa aroma tanah basah dan bunga anggrek. Di pangkuanku tergeletak selembar kertas kecil berisi kriteriaku:
baik hati, sabar, peduli keluarga, pekerja keras, dan membuatku merasa pulang.
Masalahnya, tiga perempuan yang hadir dalam hidupku saat itu… semuanya memenuhi kriteriaku.
Ada Yeni, perempuan ceria yang bekerja di Bank Duta. Setiap kali bercerita tentang para nasabah, rekan kerja, atau suasana kantor bank, matanya selalu berbinar. Caranya menyikapi hidup membuat segalanya terasa ringan. Tawa yang ia bawa seakan menjadi penawar kepenatanku.
Lalu ada Rina, perempuan lembut dan pendiam. Ia mengajar mengaji di langgar dekat rumah. Kata-katanya pelan, penuh kehati-hatian, membuat siapa pun merasa didengar. Ketika bersamanya, aku merasakan kedamaian yang menenangkan hati.
Dan terakhir ada Corry.
Perempuan tegas dan cerdas, yang selalu berbicara dengan keyakinan dan arah yang jelas. Kami kerap berbincang lama tentang masa depan, pekerjaan, dan perubahan negeri ini. Dengannya, aku merasa seperti sedang berjalan bersama seseorang yang sevisi.
Ketiga-tiganya baik. Ketiga-tiganya memenuhi kriteriaku.
Itulah masalahnya.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bertemu mereka satu per satu—bukan lagi untuk menilai, tetapi untuk mendengarkan hatiku yang selama ini tenggelam oleh logika.
Bersama Yeni, aku tertawa. Namun di balik tawa itu, ada bisikan lembut bahwa mungkin ia terlalu gemerlap untuk ritme hidupku yang tenang.
Bersama Rina, aku menemukan ketenangan. Tetapi ketenangan itu kadang berubah menjadi jarak yang halus, sulit kujelaskan dengan kata-kata.
Dan ketika bersama Corry, aku merasakan keseimbangan. Antara logika dan rasa, antara ketegasan dan kelembutan.
Malam itu, aku kembali ke teras rumah, menatap langit malam 1990 yang temaram. Teh hangat di tanganku mulai mendingin, tapi hatiku justru menemukan kehangatan yang selama ini kucari.
Akhirnya aku mengerti:
Pasangan hidup bukanlah siapa yang paling memenuhi kriteriaku,
melainkan siapa yang membuatku menjadi diriku sendiri.
Dan pilihanku jatuh pada Corry.
Bukan karena ia paling sempurna.
Bukan karena daftar kriteriaku paling cocok dengannya.
Tetapi karena bersamanya, hatiku tidak perlu berpura-pura.
Bersamanya, setiap percakapan terasa jujur.
Dan bersamanya, aku merasa pulang—bukan ke rumah,
tetapi kepada diriku sendiri.(**)