Setiap kali sunyi datang, aku selalu punya jalan pulang: menulis.


Oleh : M. Harry Mulya Zein— Pakar Ilmu Pemerintahan— Tinggal di Tangerang, Indonesia

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya: sunyi, dingin, dan terlalu panjang. Lampu kamar hanya tinggal setengah redup, menebarkan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aku memejamkan mata berulang kali, berharap gelombang kantuk datang menghampiri. Namun yang datang justru sebaliknya—pikiran yang tak mau diam.

Aku menghela napas.
“Kalau begini terus, bisa sampai Subuh,” gumamku pelan.

Sudah menjadi kebiasaanku: ketika tidur menolak datang, aku mencari pelarian pada sesuatu yang memanggil dari dalam diriku—menulis.

Aku bangkit, duduk di depan meja kecil di sudut kamar. Lampu meja dinyalakan. Laptop kesayanganku kubuka, layarnya menyala lembut, menunggu jemariku menyentuh tombol-tombolnya. Begitu laptop hidup, sunyi seketika berubah menjadi sahabat.

Di luar, dunia terlelap. Tapi di dalam kepalaku, cerita-cerita justru mulai hidup.

Malam ini aku menulis tentang seorang guru yang kehilangan semangatnya, tetapi menemukannya kembali lewat murid yang tak menyerah. Besok mungkin aku akan menulis tentang sungai yang mengalir membawa kenangan masa kecil. Lusa tentang pemerintahan yang kuimpikan: bersih dan bijak. Tak ada pola tertentu; hanya dorongan hati yang memetik satu gagasan, lalu menuntunnya menjadi tulisan.

Setiap kalimat yang muncul di layar membuat dadaku lebih ringan. Ada kelegaan yang tak pernah kutemukan dalam tidur yang dipaksakan. Menulis membuatku merasa… utuh. Seolah aku sedang berbicara dengan diriku sendiri, tanpa harus bersuara.

Pukul satu lewat lima belas. Malam begitu hening, nyaris tanpa suara. Dari balik jendela, lampu penerangan gang rumahku pijar, memantulkan cahaya kekuningan yang temaram, seolah menjaga kesunyian yang mengelilingiku. Kehangatan cahaya itu membuatku tersenyum kecil—ada rasa damai yang tak bisa dijelaskan.

Tulisan itu akhirnya selesai. Bukan karya besar, bukan pula sesuatu yang ingin kupamerkan. Tapi bagiku, setiap paragraf adalah jendela kecil untuk bernapas.

Aku membaca ulang, menutup laptop, dan saat itulah kantuk yang kutunggu-tunggu datang perlahan. Bukan karena lelah, tetapi karena hatiku sudah tenang.

Aku mematikan lampu meja.
“Terima kasih, malam,” bisikku.

Aku berbaring. Dan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, aku tertidur dengan damai—diiringi keyakinan bahwa setiap kali sunyi datang, aku selalu punya jalan pulang: menulis.