Oleh: Djaka Suryadi, PhD, Bankir Syariah*

Djaka Suryadi

Pendahuluan
Sistem perpajakan di Indonesia, yang berakar dari praktik kolonial oleh sosok seperti Thomas Stamford Raffles, sering kali dikritik karena “kerap membebani rakyat” dan minim timbal balik yang sepadan.

Klaim bahwa pajak modern telah gagal mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan selama lebih dari 200 tahun menjadi titik tolak analisis ini.

Dalam kacamata Ekonomi Moneter Syariah (EMS), instrumen fiskal utama sebuah negara adalah Zakat, bukan pajak dalam pengertian konvensional. Analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem pajak Indonesia saat ini berdasarkan prinsip keadilan Islam dan memberikan rekomendasi yang selaras dengan Maqashid Syariah (tujuan syariat).


1. Problem Statement dan Novelty
Problem Statement
Masalah mendasar adalah adanya ketidakadilan struktural dalam sistem perpajakan Indonesia. Pajak bersifat permanen, menyeluruh, dan berpotensi regresif (membebani masyarakat berpenghasilan rendah melalui PPN), alih-alih progresif. Hal ini menciptakan kesan pungutan yang opresif dan tidak memenuhi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat (Takaful Ijtima’i), melanggar prinsip keadilan Islam (Al-‘Adalah).


Novelty
Kebaruan dari analisis ini adalah mengusulkan pergeseran paradigma dari sistem fiskal berbasis pajak konvensional menuju Sistem Fiskal Syariah. Sistem ini memprioritaskan Zakat sebagai sumber pendapatan primer dan membatasi pungutan tambahan (pajak modern) menjadi instrumen sekunder yang disebut Dharibah Syar’iyyah (Pajak Darurat yang Syar’i) yang diterapkan secara adil, temporal, dan transparan.


2. Pembahasan: Pajak Konvensional vs. Dharibah Syar’iyyah
Dalam EMS, sumber utama kas negara (Baitul Mal) harus dipenuhi dari Zakat (pungutan wajib bagi umat Islam dengan alokasi tetap) dan sumber-sumber kekayaan negara lainnya. Pajak konvensional hanya dibenarkan jika merujuk pada konsep Dharibah.
Dharibah Syar’iyyah dapat dipungut dengan syarat ketat, yaitu:
Hanya dalam Keadaan Darurat (Hajah Syar’iyyah): Dipungut hanya jika dana dari Zakat dan sumber lain tidak cukup untuk membiayai kebutuhan wajib negara (fardhu kifayah), seperti pertahanan, keamanan, dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.


Prinsip Keadilan (Al-‘Adalah): Harus bersifat progresif, hanya dikenakan pada kelebihan harta (surplus) orang kaya (aghniya), dan tidak boleh membebani masyarakat miskin atau menengah yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok. Prinsip inilah yang sejalan dengan sistem Firaun kuno yang menyesuaikan pungutan berdasarkan kemampuan finansial.


Timbal Balik (Iwad dan Mashlahah): Dana yang terkumpul harus dialokasikan secara transparan untuk kemaslahatan umum yang nyata dan dirasakan langsung oleh rakyat.


Pajak Indonesia yang berlaku saat ini melanggar syarat-syarat Dharibah karena bersifat permanen (bukan darurat) dan berpotensi regresif, sehingga dikhawatirkan menyerupai Maks (pungutan zalim) yang dilarang keras dalam Islam.
3. Tinjauan Syar’i (Al-Qur’an dan Sunnah)

Dalil Kesejahteraan dan Keadilan
Al-Qur’an (QS. Saba’: 34:39):
“Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Esensi Tafsir Al-Azhar: Ayat ini mendasari kewajiban negara untuk memastikan ketersediaan dan pemerataan rezeki, serta pengelolaan harta umat (Baitul Mal) harus dilakukan dengan adil. Sistem fiskal tidak boleh menyempitkan rezeki rakyat.
Hadits Rasulullah SAW (HR. Al-Hakim):
“Bukanlah mukmin orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.”
Esensi Tafsir Al-Azhar: Hadis ini mewajibkan adanya Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’i). Negara harus menggunakan instrumen fiskal untuk menghilangkan kesenjangan dan memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi, bukan malah menggunakan pungutan yang menyebabkan rakyat semakin tertekan.


Dalil Larangan Pungutan Zalim (Maks)

Hadits Rasulullah SAW (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim):
“Tidak akan masuk surga pengumpul pajak (zalim).”
Esensi Tafsir Al-Azhar: Hadis ini memberi peringatan keras terhadap Maks (pungutan yang diambil secara paksa dan tanpa hak syar’i).

Para ulama menyimpulkan bahwa pajak yang membebani rakyat, bersifat eksploitatif, tidak transparan, atau tidak menghasilkan timbal balik yang adil dan nyata bagi Mashlahah Ammah dapat dikategorikan sebagai Maks yang zalim karena melanggar Hifzhul Maal (pemeliharaan harta).


4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan
Sistem pajak Indonesia saat ini berisiko melanggar prinsip keadilan dan jaminan sosial Islam karena kegagalannya memenuhi syarat Dharibah Syar’iyyah. Untuk menciptakan keadilan fiskal, negara harus kembali menempatkan Zakat sebagai instrumen redistribusi harta utama dan membatasi pajak konvensional.
Rekomendasi Terbaik (Al-Islam)
Optimalisasi Zakat sebagai Fiskal Primer: Negara wajib mengoptimalkan pengelolaan Zakat sebagai sumber pendapatan dan jaminan sosial yang adil dan fixed bagi umat Islam, mengurangi ketergantungan pada pajak yang memberatkan.


Penerapan Dharibah yang Progresif dan Temporal : Jika pajak non-Zakat diperlukan, ia harus diubah menjadi Dharibah Syar’iyyah yang bersifat temporal dan sangat progresif—dipungut hanya dari surplus harta orang kaya—untuk membiayai proyek fardhu kifayah spesifik. Pajak regresif (seperti PPN yang membebani kebutuhan dasar) harus ditinjau ulang atau dihapus.


Transparansi Mutlak (Siddiq dan Amanah): Seluruh dana publik harus dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas syar’i yang tinggi untuk menjamin prinsip Iwad (timbal balik), memastikan rakyat menerima manfaat nyata dari setiap pungutan.

+++

*Tentang Penulis:

Djaka Suryadi, PhD, pemerhati hukum dan keuangan syariah. Meraih gelar Doktor di bidang Keuangan Islam dari salah satu universitas di Malaysia.

Di Indonesia, ia menjadi bankir syariah dan pernah bekerja  di sebuah bank swasta selama 28 tahun, serta menjadi dosen hukum Islam dan keuangan Islam selama 18 tahun di berbagai universitas.

Komunikasi dengan penulis bisa melalui email: djaka.suryadi01@gmail.com