Oleh: Rachmad Bahari
Soloensis, Penggemar wayang kulit.

Rachmad Bahari

Nonton Wayang Kulit

Saya mulai suka nonton wayang kulit sekitar kelas 4 SD tahun 1970. Itupun harus nekat karena pasti dimarahi ibu karena pulang pagi.

Ketertarikan nonton wayang kulit ya karena didongengi ibu setiap malam. Saya produk single parent dan fatherless sejak kanak-kanak.

Ibu menceritakan wayang sejak awal tentang Sakri, Sakutrem, Manumsyasa, hingga Shakuntala yang hampir tidak pernah dimainkan dalam pergelaran wayang kulit. Ibu juga cerita sampai akhir Bharatayuda hingga Parikesit naik tahta Hastinapura. Saya tidak tahu ibu punya pengetahuan wayang dari mana.

Saya pertama kali menonton wayang kulit di kampung saya di Mangkuyudan Solo, ketika pesindhen terkenal RRI Surakarta, Nyi Sumarmi punya hajat sunatan putrananya. Saya tidak tahu persis namanya hanya tahu panggilannya Sut.

Ketika itu yang mendalang adalah Ki Nartosabdo dan diteruskan Ki Anom Suroto. Ceritanya apa, saya sendiri lupa.

Pernah juga nonton wayang kulit yang digelar tujuh malam berturut-turut di lapangan Jati Grogol Sukiharjo, tapi hanya menonton hari terakhir pas malam Minggu, itupun tidak sampai pagi.

Ketika SD saya pernah menonton Ki Anom Suroto di halaman Kodim 0735 dan Poleil Surakarta. Waktu SMA lebih banyak nunut dengar ketika pakdhe saya mutar kaset, yang dicicil setiap siang (satu pakeliran sekitar delapan kaset c-60). Selain itu juga sekadar mendengarkan siaran radio baik secara live streaming maupun sekadar memutar rekamannya.

Ketika sekolah di Jakarta, hampir setiap malam minggu saya mendengarkan siaran wayang kulit via radio RRI Jakarta, P3SC, CBB, Kayumanis, Draba, Cakrwala, dan Radio Taman Mini.

Dari sekadar mendengar itu saya mulai paham dan bisa membedakan antara gagrak Surakarta Yogyakarta, Kedu dan Banyumas. Wayang kulit Betawi pernah menonton selintas di Museum Wayang. Wayang kulit Cirebon belum pernah melihat dan mendengar, begitu pula wayang kulit jekdhong gaya Malang.

Dari Ki Nartosabdo saya belajar tentang kosa kata bahasa Kawi yang dirangkai secara indah walaupun audiens saya yakin juga tidak banyak yang tahu.

Kadang Ki Nartosabdo bercerita soal orgy yang dilakukan Sarpakenaka, raseksi adik Rahwana, dan puluhan raksasa dengan menggambarkan vaginanya yang mencorong membara dan payudara yang mengencang ibarat gunung api yang akan meletus. Saya mendengarkan radio sambil tersenyum sendiri.

KI Nartosabdo juga ahli sanggit dan menyesuaikan dengan kearifan lokal. Dari cerita asli tentang Dewi Madrim yang ikut suaminya Pandu dibakar oleh Ki Nartosabdo diubah menjadi mati sahid konduran ketika melahirkan kembar Pinten-Tangsen atau Nakula- Sadewa.

Dari Ki Anom Suroto yang hari ini wafat, saya menikmati suara yang indah dan kung (istilah unggul untuk suara dalam pedalangan Jawa) yang sampai kini belum tertandingi. Kemampuan paramasatra juga sangat mumpuni, antawecana didusun dengan indah menggunakan rima bahasa, layaknya guru lagu dan guru wilangan dalam tembang Jawa.

Dari almarhum ki Manteb Soedharsono saya menikmati gaya memainkan wayang atau sabet yang indah dan sanggit alur cerita secara flash-back atau kilas balik, kemampuannya susah tertandingi. Ki Manteb Soedharsono mungkin sedikit di antara dalang yang terus belajar dan tidak pelit menularkan ilmu sampai akhir hayat, dengan koleksi pustaka yang lengkap.

Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, dan Ki Manteb Soedharsono juga memiliki kemampuan lebih untuk menata dan menciptakan gending-gending baru.

Terus terang saya lebih sering menonton pakeliran Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono di Jakarta di tempat khusus seperti Auditorium RRI Jakarta, Balai Sarbini ballroom Kartika Chandra, Bali Room Hotel Indonesia Istora GBK dengan harga tiket yang tidak murah. Sekarang lebih banyak nonton di youtube, itupun tidak sampai akhir karena faktor U.

Sugeng tindak Ki Ageng KRT Anom Suroto Lebda Negoro.