
Yanto Soegiarto adalah mantan Pemimpin Redaksi Indonesian Observer, mantan Pemimpin Redaksi RCTI, dan Managing Editor Majalah Globe Asia. Setelah pensiun dari kegiatan jurnalisme, dia aktif mengikuti kegiatan sosial dan diskusi. Dokumentasi karya jurnalistiknya ditampilkan dalam Catatan Forum Senja di bawah ini.
Sebuah Tantangan
Oleh: Yanto Soegiarto
KEPENTINGAN cutting costs dan efisiensi sudah menjadi kebutuhan di banyak perusahaan besar di seluruh dunia, termasuk perusahaan yang bergerak di bidangpertelevisian.
Bahasa itu sudah baku di mana manajemen modern diterapkan, Sementara itu, kemajuan teknologi otomasibdan digitalisasi juga sangat mendukung kepentingan ini.
Di Amerika, sejarah pertelevisian sudah lebih dari setengah abad. Ketika saya mengunjungi NBC di Rockefeller Center, New York tahun 1996, prosedur kerja dan SOP tidak jauh berbeda dengan stasiun TV swasta di Indonesia. Arsitektur perangkat kerja pun sama. Bahkan cara konvensional tape in tape out dengan menggunakancas- sette Betacam masih terlihat.
Manusianya dan kulturpun tidak jauh berbeda. Hanya saja perencanaan programming sedikit berbeda di samping format NTSC dan bahasa yang digunakan.
Pada tahun 2001, NBC melakukan perubahan drastis.Stasiun yang memiliki beberapa TV lain nya memutuskan untuk sentralisasi dan digitalisasi operasional mereka. Terjadilah berbagai perubahan dalam policy, kegiatan operasional dan kultur kerja. Tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh banyak orang cukup ditangani oleh satu orang. Multi- tasking dan regenerasi diterapkan. Pola-polakerja lama diganti dengan yang baru.
Tetapi proses perubahan itu tidak sekejap. Dalam menerapkan pola management baru terdapat berbagai hambatan cultural. Merubah sikap dan kebiasaan yang sudah puluhan tahun bukanlah tugas yang mudah.Apalagi menyatukan visi. Oleh karena itu, diterapkan”best practices concept” dengan tenggang waktu yang fleksibel.
Namun demikian, setelah 2 tahun, akhirnya NBC berhasil dalam policy-nya. Tentunya dengan investasi yang cukup mahal untuk peralatan digital server, biaya training, lay off dan recruitment high caliber persons.
Bagaimana di Indonesia?
Di TVRI News misalnya, walaupun peralatan2 mutahir seperti ENPS dan fiber optic link ke studio yang sudah dipasang, sumberdaya manusia merupakan problema. Bagaimana mengalokasikan orang yang begitu banyak sedangkan job yang tersedia sangat terbatas. Belum lagi kebutuhan akan merubah sikap kerja, kultur, kebiasaan dan lain-lain.
Di TV swasta mungkin keadaan nya berbeda. Tetapi tantangannya sama, bahkan bisa lebih besar lagi. Televisi swasta yang sudah nation-wide harus lebih bisa mengantisipasi trend kedepan. Akan ada waktunya semua kegiatan operasional, programming, accounting, studio, traffic menggunakan otomasi dan robotics.
Bagaimana di RCTI? Stasiun TV ini sudah berusia 15 tahun dan bisa dikatakan sudah tumbuh menjadi perusahaan besar. Pembenahan-pembenahan tetap terus dilakukan karena kompetisi semakin keras. Tidak terasa sebetulnya kiat-kiat manajemen seperti NBC sudah mulai diterapkan. Cost cutting dan efisiensi sudah mulai dilakukan. Ini bukan berarti downsizing tetapi justru mengembangkan stasiun TV ini menjadi lebih besar lagi.Tetapi tentunya, harus disertai dengan planning dan pengembangan bisnis jangka panjang berikut juklaknya yang jelas dan transparan. Duplikasi pekerjaan dan-redundancy juga harus di eliminir. Perhitungan cost efficiency untuk mencapai hasil lebih bukan tidak mungkin tanpa sacrifice. Jadi bisa saja RCTI di masa yang akandatang menjadi seperti NBC memiliki berbagai server-based digital systems untuk central cast- ing, robotics di studio, digital connectivity yang menghubungkan programming, traffic dan bahkan accounting.
Tetapi untuk ini semua sudah pasti, tuntutan nya adalah perubahan mindset, sikap kerja, kultur dan willingness to change. Apakah kita sudah siap menyikapinya? Sebuahtantangan.
*Artikel pendek ini ditulis pada tahun 2004 dan dimuat dalamnewsletter RCTI yang berjudul Tripod