
Catatan: Rachmad Bahari,
Soloensis
ISTILAH schism yang diindonesiakan menjadi skisma, saya kenal sejak 46 tahun silam ketika menjadi mahasiswa tingkat persiapan di FIS (sekarang FISIP) Universitas Indonesia.
Kata schism atau skisma itu muncul dalam pengantar ilmu politik dan pengantar sisiologi sebelum para mahasiswa memilih program studi pada tahun kedua semester kedua.
Skisma adalah istilah yang mengacu pada perpecahan organisasi terkait denominasi agama. Kristen terpecah menjadi Katolik Roma dan Gereja Ortodoks, dan kemudian muncul.Protestan dengan berbagai sektenya.
Dalam Islam meskipun tidak memiliki organisasi terstruktur sejak wafatnya Nabi Muhammad telah terbelah menjadi Sunni dan Syiah dan kemudian dari kedua cabang besar itu lahir mazhab-mazhab atau aliran.
Sejarah partai politik modern Indonesia juga tidak terlepas adanya skisma. Sejak kelahiran Sarekat Islam (SI) dan ISDV, serta Insulinde yang belakangan berubah menjadi Indische Partij, skisma datang silih berganti karena dicetus masalah internal atau masalah yang berasal dari luar — langsung atau tidak langsung.
ISDV dan SI pernah beririsan sehingga lahir SI Putih dan SI Merah. SI Merah kemudian menjelma menjadi PKI. PKI kemudian tiarap pasca Pemberontakan 1926. PKI berdiri kembali pada 1945 saat pemerintah mengizinkan pendirian partai politik guna mengikuti pemilu yang dirancang akan terselenggara 1946.
Gerakan komunis di Indonesia yang berencana melakukan rekonsiliasi pada 1948 yang gagal karena terjadi Madiun Affair. Seperti diketahui gerakan komunisme terpecah menjadi PKI, Acoma, dan Murba. Acoma dan Murba lebih dekat dengan Tan Malaka yang trotskyist.
PKI berhasil melakukan konsolidasi organisasi sejak kongres 1954 dan dipimpin oleh orang-orang muda seperti DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto. Pemilu 1955, PKI memperoleh suara empat besar setelah PNI, Masyumi, dan NU. PKI masuk lingkaran kekuasaan Pasca Dekret Presiden 5 Juli 1959 hingga dibubarkan 12 Maret 1966, sebagai imbas peristiwa Prahara 1965 atau Gestok.
PNI partai yang didirikan Bung Karno mengalami perpecahan ketika beliau masuk penjara. Bung Hatta dan Bung Sjahrir mendirikan PNI Baru dan Mr Sartono mendirikan Partindo. Pada 1945 PNI lahir kembali, setelah pendirian partai tunggal atau partai negara yang juga bernama PNI gagal dibentuk. Menjelang Pemilu 1955, ada anasir yang menyempal dan mendirikan PRN yang dipimpin Mr. Djody Gondokusumo. Dalam perjalanannya PNI acapkali mengalami dualisme kepemimpinan. Persetruan antara kubu ASU vs Osa Usep pernah menghiasi pemberitaan pada zamannya.
Ketika PDI berdiri pada 1973 hingga 1993, dualisme kepemimpinan terus terjadi. Ketika PDI mengalami masa transisi di bawah Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Ketua DPP PDI de facto, terjadi peristiwa berdarah 27 Juli 1996.
Peristiwa yang disebut Kudatuli atau Sabtu Kelabu menjadi faktor pencetus yang bereskalasi menjadi Reformasi 1998. PDI yang tidak ikut Pemilu 1997, hadir menjadi pemenang pemilu legislatif 1999 sebagai PDI Perjuangan.
Kemudian PDI Perjuangan kembali menjadi pemenang pemilu legislatif pada 2014, 2019, dan 2024. Megawati Soekarnoputri putri merupakan figur politik yang kuat dan mampu menjaga konsolidasi san soliditas partai. Masa depan PDI Perjuangan pasca Megawati menjadi tanda tanya besar.
Politisi PDI Perjuangan pernah ada yang menyempal dan mendirikan PNBK dan PDP, tapi kemudian mati. Eks ekspinen PNI tercatat ada yang pernah mendirikan PNI Baru, PNI Supeni dan PNI Front Marhaenis, eks PDI Soerjadi ada yang ikut pemilu dengan nama PDI dan kemudian PPDI. Semua sempalan itu kini sudah tidak terdengar lagi eksistensinya.
Sejarah partai Islam juga sama saja. Ketika Masyumi berdiri kembali pertikaian antara kelompok tradisional dan modernis menjadi pemicunya. Puncaknya NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai parpol mandiri. Ketika Masyumi dan PSI dibubarkan pada 1960, partai Islam yang tersisa ada NU, PSII, dan Perti.
Pada Pemilu 1971, eksponen Masyumi mendirikan Parmusi dan menjadi salah satu konstestan. Pimpinan Parmusi juga menjadi rebutan. Ketika seluruh partai Islam berfusi dalam PPP, rebutan kepemimpinan juga tidak pernah berhenti, bahkan ketika tidak lolos tresshold, konflik kepemimpinan terus berlangsung.
Unsur NU menyatakan keluar dari PPP pasca Muktamar Situbondo 1984. Selanjutnya terjadi “penggembosan”. Pasca Reformasi 1998, para tokoh NU mendirikan PKB,. Ternyata konflik kepemimpinan juga tidak PKB juga menghiasi partai yang konon didirikan para kiai itu.
Partai Islam baru seperti PKS juga melahirkan sempalan Partai Gelora.
Golkar stabil di bawah kendali Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina 1973 – 1998. Pasca Reformasi 1998, lahir partai sempalan seperti PKP Edi Sudradjat, Partai Hanura Wiranto, Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Partai Nasdem Surya Paloh. Partai Demokrat yang dikendalikan Susilo Bambang Yudhoyono bukan sempalan, tapi memiliki DNA Golkar.
Akankah skisma politik saat ini melahirkan politik aliran dengan wajah baru yakni aliran duit, bukan ideologi atau keyakinan. Wong kita telah terlena selama 10 tahun oleh orang yang menafikan ideologi tapi penyembah kekuasaan.(*)