M. Sarwani
Mantan Redaktur Ekonomi Makro Harian Bisnis Indonesia

SITI, bukan nama sebenarnya, tertunduk sedih sesaat setelah pulang dari pasar. Rencananya menghidangkan ayam teriyaki pesanan putri sulungnya yang duduk di kelas 5 SD buyar. Hari itu harga ayam melonjak dari Rp30 ribu per kg jadi Rp40 ribu per kg.
Siti hanya membawa uang Rp50 ribu ke pasar, jatah untuk keperluan sehari-hari yang ditentukan suaminya, seorang buruh pabrik.
Jika Siti memaksa membeli ayam, dia tidak bisa membeli minyak goreng, bumbu, sayur, dan tempe.
Saat harga normal, tidak ada kenaikan, Siti bisa membawa pulang aneka bahan makanan seperti ayam, tahu, tempe, sayur dan bumbu pelengkap.
Kali ini dia harus memangkas belanjaannya agar keluarganya tetap bisa makan.
Siti yang awal berangkat ke pasar berharap bisa membeli kebutuhan rumah tangga secara lengkap harus menerima kenyataan hanya separuhnya yang dia bisa beli.
Dia tiba-tiba merasa kemampuannya untuk membeli berkurang. Seperti orang yang jatuh miskin.
Kenaikan harga barang, dikenal dengan istilah inflasi dalam ekonomi, memang seperti rampok, membuat orang yang semula mampu belanja banyak barang, menjadi sedikit yang bisa dibeli.
Inflasi merampok siapa saja, kelas sosial mana saja. Bagi orang berada, dampaknya akan menggerus kemampuannya membeli barang-barang mewah, sekunder, atau tersier. Namun mereka masih bisa memenuhi kebutuhan pokoknya seperti rumah, transpor, makan, pendidikan, dan liburan.
Celaka jika penurunan kemampuan membeli ini menimpa orang seperti Siti. Sudah uangnya pas-pasan untuk membeli kebutuhan pokok, naik pula harganya.
Orang seperti Siti banyak jumlahnya. Mereka ini yang disebut dengan masyarakat hampir miskin. Masih bisa makan enak kalau tidak ada gejolak kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Agar orang-orang seperti Siti bisa memenuhi kebutuhan gizi minimal untuk tetap produktif, pemerintah perlu menjaga harga barang-barang kebutuhan pokok tetap stabil, tidak melonjak naik. (***)