Cerpen Oleh: Santoso Yunus*

Santoso Yunus

HATI Suryantoko selalu berbunga-bunga dalam perjalanan menuju kampus tempat ia menimba ilmu di Semarang, Jawa Tengah. Dia berharap kelak hidup bahagia dengan pengetahuan yang diperoleh lewat bangku kuliah. 

Dia sadar betul pendidikan adalah tangga untuk naik derajat kehidupan. Optimisme naik tangga kehidupan ia bangun. 

Optimisme terlihat setiap kali pamitan keluarganya, keluar rumahnya di Solo, dan menghidupkan sepeda motor Vespanya. 

Semangat kuliah semakin meninggi ketika di Semarang juga punya kenalan seorang gadis, cantik imut-imut, perawakannya semampai, langsing, berkerudung seperti yang dikenakan kalangan fatayat , organisasi perempuan muda di bawah Nahdlatul Ulama (NU). 

Keluar pintu rumahnya di Solo, pikirannya sudah melayang-layang di Semarang. Khayalannya bercumbu dengan bayangan gadis kenalannya yang kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo, sebelum kampus ini berubah namanya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang. 

Ilustrasi

Percakapan batinnya lebih banyak tentang gadis pujaannya. Suasana pikiran Suryantoko menjadi indah, selayaknya mabok asmara. 

Sepeda motor jenis Vespa yang terasa kurang lincah di jalan, ia geber gasnya menggelinding sepanjang jalan antara Solo- Semarang, sekitar 100 kilometer. 

Jarak jauh baginya tidak masalah. Di matanya bukan jarak tempuh, tetapi masa depannya yang gemilang, serta bayangan istri cantik, imut-imut yang akan menjadi pendampingnya nanti. 

Rintangan terik matahari, hujan, dan kadang-kadang jalan licin antara Solo- Boyolali- Salatiga-Bawen, Ungaran hingga Semarang tidak menjadi masalah. Semua dilalui dengan enteng seperti tidak ada masalah. Vespa yang dikendarai melaju seperti adanya. “Trotok.. trotok…trotok,” suara vespanya ketika kenalpotnya lepas. 

Dia punya kebiasaan setiap perjalanannya sampai Bawen, 60 kilometer dari Solo istirahat. Tinggal 40 kilometer lagi menuju Semarang. 

Di Bawen, ia selalu berhenti dan mampir di rumahku yang tidak jauh dari percetakan, tempat mencetak jarak jauh Harian Kompas, surat kabar paling berpengaruh di negeri ini. 

Temanku yang satu ini, setiap awal bulan Sabtu sore, berkendara dengan Vespanya, berangkat dari rumahnya di Kota Solo menuju Semarang. Ia menempuh  pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri di Kota  Semarang. 

Dia selalu istirahat di pertengahan antara Solo dan Semarang melewati Bawen, kampung tempat tinggalku dan tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. 

Mas Suryantoko yang biasanya saya panggil Mas Sur, selalu mampir dan bermalam di rumahku untuk kemudian melanjutkan perjalanan perjalanan pada Senin pagi ke kampus. Solo- Semarang menjadi perjalanan rutin yang nyaman. 

Suatu saat, selepas waktu sholat Isya dilanjutkan makan malam berdua. Mas Sur tidak tahan menyimpan gelora asmara yang membuncah dalam dirinya. Selama dalam perjalanan bayangan gadis yang menjadi idamannya pun menemani pikirannya. 

Ia dengan semangat menyampaikan soal hubungannya dengan sang pacar yang telah berjalan selama dua tahun. Hubungannya dalam keadaan baik-baik dan mulus. Tidak putus-sambung-putus sambung, walaupun dalam pikirannya kadang tergoda bayangan perempuan lain. Itu sih masih dalam kewajaran. 

Pacarnya seorang mahasiswi.  Pernah diajak ke rumahku. Linda namanya. Namanya cukup keren, Linda, seperti nama gadis kota. Dia memang orang kota, Kota Semarang bagian utara. Gadis berkerudung itu masih kuliah di IAIN, diharapkan menjadi bibit unggul bagi anak-anaknya kelak. 

Mas Sur melanjutkan perbincangan, “Aku merasa sudah cukup umur dan setelah selesai studi seharusnya langsung menikah demi masa depan anak-anakku nanti”. 

“Niat yang baik, setidaknya anak-anak akan lahir sebelum usia kita mencapai 30 tahun, sehingga kita tersedia waktu yang cukup longgar untuk mendidik dan  membesarkan 

anak-anak,” jawab saya sambil memandang raut wajahnya seperti sudah lelah berpacaran. 

 

Temanku melanjutkan obrolan dengan menyampaikan bahwa sang kekasih adalah anak bungsu dari tiga bersaudara perempuan semuanya. Dua orang kakaknya belum punya pacar semua.

“Apakah pernah engkau sampaikan pemikiran itu?,” kataku. 

“Belum,” jawabnya singkat.

“Sebaiknya sampaikan saja pemikiranmu itu secepatnya sebelum  studi selesai dua tahun lagi,” saranku kepadanya 

Sebulan berlalu dan seperti biasanya, Sabtu sore Mas Sur mampir dan bermalam. Ketika makan malam berdua, Mas Sur berkata, “aku telah sampaikan pemikiranku ke Linda. 

Linda paham dan setuju dengan pemikiran saya. Linda tahu hal ini sulit untuk dilaksanakan,” 

Alasannya kakaknya masih belum pada punya pacar.  Dengan linangan air mata  Suryantoko sambil mewek-mewek, menirukan ucapan Linda, “Silakan Mas mencari wanita lain dan saya ikhlas Mas Sur segara menikah setelah selesai studi. Aku akan mendoakan Mas menjadi keluarga yang bahagia”. 

Ucapan yang disampaikan kembali pada saya itu, meluncur dari bibir Linda yang mungil, diiringi air mata yang terus meleleh di pipinya. Pikiran Suryantoko sejenak ambyar. Harapan seperti hilang. 

“Tidak begitu, kataku. 

Kita dua tahun lagi akan selesai studi bersama dan kita akan segara menikah,” jawab Mas Sur. 

“Tidak mungkin Mas. Ibu tidak akan merestuinya. Ibu akan menikahkan ketiga putrinya secara berurutan. Dan itu prinsip ibu yang tidak bisa dirubah oleh siapapun,” katanya sambil sesenggukan menahan isak tangis. 

Suryantoko yang badannya sedikit tambun terasakan tidak menginjak bumi. Kepalanya terasa terbang tidak menentu. Kosong. 

“Silakan mas mencari ganti Linda dan segera menikahinya. Linda akan ikhlas dan sabar karena Linda tidak akan menyakiti hati Ibu,” tutur Mas Sur menirukan Linda dengan nada bicara rendah. 

Suryantoko menghela napas pendek. “Bagaimana pendapatmu?” kata Mas Sur kepadaku. Wah.. belum ada ide aku, jawabku. 

                   * * *

Tiga bulan pun berlalu. Kakak pertama Linda sudah punya pacar, kata Mas Sur. 

Syukurlah, semoga cepat nikah, jawabku.

“Ya, tiga minggu yang lalu Linda kasih tahu aku sambil mengulangi lagi usulannya agar aku mencari calon istri lain dan dia akan rela melepasku. Aku katakan kepada dia bahwa pemikiranku bukanlah idealisme kaku. Selama kamu masih mencintaiku, aku tetap lebih memilih menunggumu,” kata Suryantoko mengingatkan kembali ketika berkomunikasi dengan Linda yang membuat dirinya nyaris pingsan. 

Lima bulan kemudian, kakak pertama Linda melangsungkan pernikahan. Benang kusut mulai terurai. Hati mulai lega. 

Mas Sur berperan besar mensukseskan perhelatan perkawinan kakak pertama pacarnya. Mas Sur seorang organisatoris dan berpengalaman menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus. 

Keluarga Linda semakin menyayangi Mas Sur. 

Tiga bulan setelah kakak pertama menikah, Mas Sur membawa berita baik bahwa kakak kedua Linda sudah punya pacar. Pacarnya kerja di Jakarta. Kabar ini membuat harapan cerah rencana pernikahan Linda- Suryantoko. 

“Syukurlah, mudah-mudahan juga segera menikah,” kata saya. 

Mas Sur melanjutkan ceritanya. 

Linda pernah naik bus kota menuju simpang lima untuk main bersama teman-teman kampus. Linda duduk di kursi yang di sebelahnya ada bapak-bapak yang sudah duduk lebih dulu.

Setelah sama-sama melempar senyum lalu saling hormat. Si  bapak itu menyapa dan menanya anda siapa dan mau ke mana. 

Percakapan dilanjutkan dengan cerita si Bapak yang punya anak sudah kerja di Jakarta lulusan PTN Semarang dan diakhiri pertanyaan, “Maukah Linda menjadi menantunya?”

Dengan cepat Linda menjawab bahwa dia sudah punya pacar. Kemudian secara spontan Linda menawarkan kepada si bapak kalau berkenan boleh Linda kenalkan dengan kakaknya yang belum punya pacar. 

Rupanya si bapak itu serius merespon dan direncankanlah pertemuan antara putra si bapak dengan kakak Linda. 

Singkat cerita, dari hasil pertemuan keduanya saling menyukai. 

Sampai di sini mas Sur belum tahu siapa pria itu. 

Mas Sur mampir ke rumah saya setelah waktu maghrib  dan memberi tahu bahwa pacar kakak kedua Linda itu satu fakultas dengan kita. Sebulan setelah wisuda langsung diterima kerja di BUMN dan berkantor di Jakarta. 

“Ooh.. ngomong- ngomong namanya siapa?“ tanya saya menyelidik. 

“Agung” jawab Mas Sur. 

“Rumahnya di mana?”

“Di Perumahan Banyuanyar”.

“Haaah..??!!! yang bener. Coba pastikan, benerkah pria itu adalah Agung Perum Banyuanyar?” tanya saya. 

“Iya.. bener banget,” kata Mas Sur.

“ Tolong minta Linda alamat lengkap kantornya di Jakarta”.

Saya masih menahan haru, karena ternyata saya kenal Agung. 

“Kamu tahu nggak? Si Agung itu beberapa kali aku samperin ke rumah dan bareng ke Kampus bonceng motorku. Bapaknya ngobrol dengan aku, ibunya keluar rumah menyapaku ketika aku nyamperin putranya. Persahabatanku dengan Agung hampir sama persahabatanku dengan kamu. Nanti kalo pas di kelas mata kuliah yang sama kita ketemuan. Agung itu orangnya pendiam dan pemalu tapi cerdas, kata saya. 

Sebulan setelah wisuda Mas Sur mampir dan menyampaikan bahwa kakak kedua belum ada tanda-tanda merencanakan pernikahan. 

Oke,  kataku, aku akan kirim surat ke Agung. Saya pun menulis surat ke Agung yang inti surat minta tolong untuk segera merencanakan pernikahan. 

Dalam surat itu saya katakan:

“Gung, Linda itu adik pacar kamu. 

Linda itu pacar sahabatku si Sur (kita sering sekelas tapi kamu tidak kenal Sur) 

Sur sudah cukup umur dan pingin segera nikah dengan Linda. 

Tolong kamu segera nikah agar setahun setelah kamu nikah, Linda bisa nikah sama Sur. 

Tolong bantu ya Gung”.

Surat saya kirim ke alamat kantor di Jakarta. Saya tidak pernah terkonfirmasi apakah surat itu sampai dan diterima Agung atau tidak. 

Hanya saja beberapa bulan kemudian Mas Sur memberitahu saya bahwa kakak kedua Linda telah menikah dengan Agung. 

Akhirnya pernikahan Sur dan Linda pun menyusul tidak lama setelah Sur wisuda sarjana, tepat setahun setelah penikahan kakak kedua Linda.

Saya bertemu dengan Agung pada saat pernikahan Mas Sur. 

Saya tanya, “Gung, apakah suratku sudah nyampe dan kau terma?”

“Ya, saya terima, suratmu, telah berhasil mempercepat keputusanku, kalau bukan dari kamu, sudah pasti aku robek!” jawabnya.

Pasangan Suryantoko-Linda, dan Agung bersama kakak Linda kini hidup bahagia. Lamunan di atas sadel Vespa menjadi kenyataan.***

Bekasi, 15 September 2025. *Penulis Santoso Yunus adalah sarjana ekonomi yang pernah menjadi manager di PT Pratama Mitra Sejati. Di sela-sela kesibukannya, ia aktif mengikuti diskusi Forum Senja. 

2 responses

  1. Prahasti Harsono Avatar
    Prahasti Harsono

    Ternyata….diantara angka-angka ruwet yang di hadapi dikantor, ada bakat tersembunyi yang sekarang di tampilkan…hmmm kira2 ini pengalaman sendiri atau apa yaaa…..
    Tak apalah….yang penting sudah memulai 1 langkah menulis….semoga sukses dan melahirkan tulisan-tulisan yang lebih indah lagi… Selamat….

    Like

    1. Catatan Forum Senja Avatar

      Terima kasih telah memberi semangat🙏

      Like