Catatan Tundra Meliala*

Tundra Meliala

GELOMBANG digitalisasi mendorong industri media di Indonesia melakukan konvergensi. Media cetak, elektronik, dan berani dituntut beradaptasi agar tetap relevan dengan perubahan pola konsumsi informasi masyarakat. Konvergensi tidak hanya terkait teknologi, tetapi juga menyentuh mekanisme kerja redaksi, kompetensi jurnalis, hingga model bisnis yang menopang keberlangsungan industri.

Penelitian yang dilakukan Litbang AMKI mencatat, fenomena konvergensi media mengubah wajah jurnalisme modern. Berita kini diproduksi dengan mempertimbangkan berbagai platform sekaligus, dari televisi, surat kabar, radio, hingga portal dare dan media sosial. Beberapa grup media menerapkan sistem super desk, yaitu integrasi ruang redaksi yang melatih jurnalis agar mampu menghasilkan karya untuk semua media.

Konvergensi menjadi kebutuhan yang mendesak. Media tidak bisa hanya mengandalkan satu saluran, karena perilaku audiens sudah berubah.

Namun, konvergensi juga menghadirkan tantangan. Jurnalis kini dituntut multitasking –mampu menulis, mengambil gambar, sekaligus menguasai teknologi digital. Beban kerja bertambah, sementara dukungan kompetensi tidak selalu mampu. Dalam tataran organisasi, media dituntut untuk efisien, namun juga harus menjaga kualitas berita agar tidak semata-mata menjadi konten instan.

Secara teoritis, ada lima tahap konvergensi: promosi silang, kloning, kerja sama konten, integrasi lintas media, dan kolaborasi penuh. Tahap tertinggi jarang tercapai karena integrasi membutuhkan keseluruhan dari produksi, distribusi, hingga kepemilikan. Namun demikian, proses ini membuka ruang baru bagi partisipasi publik. Jurnalisme warga yang tumbuh subur di ranah digital, memberikan kontribusi sekaligus tantangan terkait akurasi dan verifikasi informasi. Dalam sistem konvergensi, warga yang menulis berita di medsos juga harus menerapkan kaidah jurnalistik.

Transformasi digital memaksa media mencari model bisnis baru. Ketergantungan lama pada pelanggan dan pengiklan perlahan-lahan ditinggalkan. Media kini membangun ekosistem komunitas, di mana interaksi dengan pembaca menjadi bagian dari strategi bertahan hidup. Perubahan ini menuntut regulasi penyiaran yang adaptif, karena kepemilikan media di Indonesia masih sering bersinggungan dengan kepentingan politik dan ekonomi.

Dampak konvergensi terasa pula dalam kehidupan sosial. Gawai kini menjadi kebutuhan primer masyarakat untuk mengakses berita, hiburan, hingga pembelajaran. Pola interaksi publik bertransformasi, sementara media industri memperoleh keuntungan dari efisiensi produksi melalui platform dengan sumber daya yang lebih ramping.

Penelitian AMKI juga menegaskan, tantangan media terbesar di Indonesia bukan semata-mata pada teknologi, melainkan pada kemampuan organisasi dan jurnalis untuk bertransformasi. Tanpa pembaruan yang cepat, arus media utama berisiko tertinggal oleh pesaing yang lebih lincah dalam merespons perubahan digital.

Salah satu bukti kuat dari perubahan ini terlihat dalam iklan belanja. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024 total belanja iklan di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 107.291 triliun, di mana iklan digital menyumbang 44,1 persen dari jumlah tersebut. Sementara media cetak hanya memperoleh sekitar 4,3 persen. 

Laporan hasil penelitian juga mengisyaratkan bahwa pada tahun 2025, pembelanjaan iklan digital akan terus meningkat –mencapai 75 persen dari total belanja iklan nasional– dengan pertumbuhan sekitar 13,8 persen. 

Sebaliknya, belanja iklan cetak diprediksi menunjukkan tren negatif. Pasar iklan surat kabar untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai US$386,46 juta, tetapi tingkat pertumbuhan tahunannya diproyeksikan menurun sekitar −1,51 persen hingga tahun 2030. 

Begitu juga iklan majalah di Indonesia –meski tetap menghasilkan pendapatan, tingkat pertumbuhannya diperkirakan negatif (−1,61 persen) dalam beberapa tahun ke depan. 

Data belanja iklan di atas menjadi pijakan kuat bagi urgensi konvergensi redaksi dan inovasi model bisnis. Ada beberapa kesan. Karena pemasukan dari digital kini jauh lebih besar, media harus melatih jurnalis yang mampu bekerja dengan format multimedia dan cepat merespons data pengguna, misalnya penggunaan video, infografis, posting media sosial, hingga interaksi yang berani.

Lalu, ketergantungan pada iklan cetak semakin tidak berkelanjutan. Media perlu memperluas sumber pendapatan: iklan digital, sponsor konten, langganan digital, media ritel, dan platform monetisasi online. Retail media –sebagai bagian dari digital– menjadi salah satu segmen yang pertumbuhannya cepat. 

Pada aspek regulasi dan kepemilikan media, Pemerintah dan lembaga terkait perlu memperbaharui regulasi penyiaran dan pers agar dapat mengatur kepemilikan media lintas platform, menjaga keberagaman konten, dan mencegah dominasi satu pihak dalam digital yang dapat mempengaruhi objektivitas. Regulasi juga perlu mengantisipasi masalah seperti distribusi pendapatan iklan, perlindungan jurnalis digital, dan hak akses publik terhadap informasi.

Dengan belanja iklan digital yang mendominasi, media dapat memperoleh efisiensi melalui integrasi kerja antarplatform. Struktur organisasi yang dulunya terpisah (redaksi cetak, redaksi TV, redaksi berani) kini perlu digabung atau memiliki mekanisme kerja yang saling mendukung agar penggunaan sumber daya manusia dan teknologi bisa optimal.

Kesimpulannya. konvergensi media bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Data belanja iklan di Indonesia menunjukkan bahwa digital telah mengungkuli cetak dalam hal potensi pendapatan, sehingga media yang gagal menyesuaikan diri akan menghadapi risiko ketinggalan –bukan hanya dalam hal teknologi, melainkan dalam hal daya tarik bagi pengiklan, dan relevansi di mata pembaca. 

Transformasi menyeluruh diperlukan: redaksi, kompetensi, regulasi, dan model bisnis harus berubah agar media bisa bertahan dan berkembang di era digital.

* Penulis Ir. Tundra Meliala MM.,GRCE. adalah Ketua Umum AMKI, dan Aktivis Diskusi Forum Senja.