Oleh: M. Nasir Asnawi

Saya sempat belajar filsafat tubuh. Dosen saya Romo Alex Lanur, selain mengajar di Universitas Indonesia (UI) juga di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Sejak saya mendapat pelajaran ini saya sangat menghargai tubuh.

Sebelumnya, saya berpikir tubuh itu tidak ada arti. Pemberian Tuhan yang gratis, tidak usah dipikirkan, tidak usah diurus, akan eksis seperti apa adanya.

Setelah mendapatkan pelajaran filsafat tubuh saya menghormati tubuh, menghormati jenazah. Waktu pergi haji, saya turut mengantar jenazah yang tidak saya kenal dari mesjidil harom, Mekah sampai tempat pemakaman di lereng gunung-gunung tandus di pinggiran kota suci itu.

Tubuh adalah syarat utama menjadi manusia di bumi. Tanpa tubuh, bukan manusia, dan tidak disebut manusia. Mungkin merupakan bangsa lelembut di atas sana.

Betapa penting tubuh di sini, maka harus dihormati, diberi pakaian yang menyenangkan, diberi perawatan yang baik, makanan bergizi supaya sehat.

Yang dilihat oleh orang lain pertama adalah tubuhnya yang bersifat materi, kebendaan. Bukan intelektual atau kepintarannya yang tersimpan dalam otak.

Maka orang memandang orang pertama kali adalah penampilan, urusan intelektual belakangan setelah berdiskusi, ngobrol sana-sini. Maka baju yang pantas menjadi penting.

Ketubuhan yang mempribadi menunjukkan karakter kepribadian. Di sini juga dinilai kelakuannya. Kelakukan di sini adalah perbuatan tubuh. Bahkan dalam agama yang dicerca dan dipuji adalah perbuatan tubuh, bukan pikiran.

Kalau masih berkutat dalam alam pikiran belum dicatat sebagai baik-buruk. Tetapi kalau sudah diwujudkan dalam bentuk perbuatan tubuh, baru dinilai baik-buruknya. Betapa sentral fungsi tubuh dalam kehidupan ini.


Menurut Plato, tubuh ini tempat bersarangnya roh (alam ide, istilah Plato) yang terlempar ke bumi dari alam surga.
Roh terpenjarakan dalam tubuh dan bertindak melalui tubuh, menjelajahi bumi..
Lalu dalam perjalanan pemahaman, manusia disebut utusan Tuhan di muka bumi (khalifatu fil ardh).
Tubuh menjadi sentral, kita harus menghargai dan merawatnya. (Penulis adalah wartawan Kompas 1989- 2018)

M Nasir Asnawi